Chapter 1:
Tentang Kita yang Pernah Berteduh di Bawah Hujan yang Sama, Tanpa Tahu Apakah Esok Kan Masih Ada Payungnya
—
Nancy tidak pernah tahu kapan segalanya mulai goyah. Barangkali sejak percakapan-percakapan menjadi pendek dan mata mereka tak lagi bertaut dengan hangat. Atau mungkin, sejak ia mulai lebih sering menahan diri daripada berkata jujur.
Ia duduk di beranda rumah tua peninggalan ibunya, memandangi hujan yang turun tanpa aba-aba, seperti hati seseorang yang tiba-tiba berubah. Di genggamannya, secarik surat yang tak pernah sampai pada tujuannya. Tertulis dengan tinta yang nyaris habis, seolah ikut lelah menuliskan sesuatu yang tak akan dibaca.
Setiap manusia, pikir Nancy, adalah sebentuk cerita yang tak selalu tuntas. Kita hanya bagian kecil dari alur hidup orang lain. Terkadang kita menjadi tokoh utama, namun lebih sering hanyalah figuran yang datang, memberi warna, lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
Hidup memang tidak mempersilahkan kita memilih siapa yang tinggal dan siapa yang hanya sekadar lewat. Ada yang datang membawa cahaya, lalu pergi membawa separuh nyala dalam dada. Ada yang menetap hanya untuk sejenak, lalu menghilang bahkan sebelum kita mengingat nama mereka dengan utuh.
Nancy pernah mengenal seseorang yang datang seperti musim semi, menyuburkan bagian jiwanya yang sebelumnya kering dan mati rasa. Ia pernah merasa dicintai dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh bahasa. Namun musim semi itu nyatanya singkat. Dan kini, ia berdiri sendiri dalam musim gugur yang panjang, menyapu daun-daun kenangan yang berguguran satu per satu.
Kita tidak bisa memaksa siapapun untuk tinggal, batinnya. Kasih bukanlah perjanjian yang bisa dimeteraikan selamanya. Kadang cinta itu hanya mampir—sejenak untuk memberi arti, lalu lenyap membawa luka yang harus kita rawat sendiri.
Nancy telah belajar bahwa perpisahan tidak selalu disertai alasan. Kadang ia hanya datang, dingin dan hening, tanpa kata pamungkas. Dan dalam diam itu, kita dipaksa untuk menerima bahwa sesuatu yang indah pernah ada, walau hanya sebentar.
Ia mengingat senyum orang itu—senyum yang kini hanya tinggal bayang, samar dalam ingatan, tapi masih mampu membuat dadanya sesak. Begitu banyak yang ingin ia ulang, begitu banyak yang ingin ia ubah, namun waktu tak pernah memberi kesempatan untuk mengulang atau memperbaiki.
Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah merelakan. Menyulam perih menjadi pelajaran. Menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar memiliki siapapun, kecuali dirinya sendiri.
Nancy menggulung surat itu perlahan, menyimpannya di dalam laci yang penuh kenangan tak tersampaikan. Di luar, hujan masih turun, dan malam mulai menyelimuti. Tapi ia tidak menangis.
Karena ia tahu—bahkan luka pun, jika diberi waktu, akan menjadi bagian dari ketegaran.
Dan dalam ketegaran itu, Nancy akan belajar berjalan lagi. Meski tertatih. Meski sendirian.
Namun ia tidak akan lupa, bahwa pernah, dalam hidupnya yang sunyi, ia merasakan sesuatu yang langka.
—
Nancy menyusuri lorong supermarket dengan tatapan kosong. Tangannya mendorong keranjang belanja, tapi pikirannya entah di mana. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan daftar kebutuhan, diskon akhir pekan, dan musik pop yang diputar terlalu keras dari pengeras suara toko.
Tapi baginya, dunia sedang berjalan lambat. Seperti film yang sedang diputar dengan kecepatan separuh. Atau mungkin dia yang tertinggal.
Ia melihat dua orang—sepasang kekasih, mungkin—tertawa sambil berebut merek sereal. Ada kehangatan yang sederhana di antara mereka, dan itu cukup untuk membuat perut Nancy terasa kosong, bahkan saat keranjangnya mulai penuh.
Nancy dulu seperti itu. Dulu, sebelum semuanya berubah jadi senyap.
Hubungan itu tidak berakhir dalam pertengkaran atau teriakan atau pintu yang dibanting. Justru sebaliknya—ia berakhir dalam diam. Dalam jeda-jeda yang semakin lebar. Dalam "nggak apa-apa" yang tidak tulus. Dalam pesan yang dibaca tapi tidak dibalas.
Nancy tidak ingat kalimat terakhir yang mereka ucapkan satu sama lain. Mungkin karena tidak ada yang benar-benar terakhir. Kadang, akhir bukanlah satu titik. Kadang ia hanyalah kelunturan. Sesuatu yang luntur dari hari ke hari sampai akhirnya hilang seluruhnya.
Di kasir, ia tersenyum sekilas pada petugas yang mengucapkan “semoga harimu menyenangkan.” Ia ingin menjawab, “aku sudah tidak yakin hari-hariku bisa menyenangkan lagi,” tapi tentu saja ia hanya mengangguk dan pergi.
Di jalan pulang, Nancy membiarkan jendela mobilnya terbuka. Udara malam menerpa wajahnya, dan lampu-lampu kota bersinar seperti bintang yang lelah. Di dalam dadanya ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apa pun—bukan makanan, bukan musik, bukan tawa teman-teman yang mencoba menghibur.
Ia tahu ia tidak bisa kembali. Tidak bisa memperbaiki apa yang telah retak tanpa suara. Tapi Nancy juga tahu satu hal yang pelan-pelan mulai tumbuh dari luka itu: ia bertahan.
Setiap hari yang ia lewati tanpa kabar dari orang itu, adalah hari di mana ia membuktikan bahwa dirinya bisa berjalan sendiri.
Mungkin tidak cepat. Mungkin tidak ringan. Tapi nyata.
Di rumah, ia menata belanjaan, menyalakan lampu kamar, dan duduk di kasurnya. Di ujung meja, buku catatannya terbuka, halaman kosong menantinya. Ia mengambil pena dan mulai menulis.
Bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang mencintai kita lama-lama... bukan berarti kita tidak layak dicintai.
Terkadang, keberanian terbesar adalah memilih untuk tetap tinggal—dalam diri sendiri.
Nancy tersenyum kecil. Tak banyak, hanya cukup untuk menghangatkan dirinya sendiri malam itu. Ia menutup buku, mematikan lampu, dan membiarkan malam memeluknya dengan tenang.
Besok pagi, ia akan bangun. Mungkin masih dengan sedikit sesak. Tapi setidaknya, ia tahu: ada kekuatan dalam kehilangan. Ada keindahan dalam menerima. Dan ada cinta yang tidak perlu dimiliki untuk tetap berarti.
—
Hari itu Nancy kembali ke tempat yang tidak ingin ia datangi: galeri seni kecil di pojok kota, tempat ia dulu sering datang bersama dia—lelaki yang namanya kini ia hindari bahkan dalam pikiran. Tapi hidup punya cara aneh untuk mempertemukan kita dengan versi lama dari diri sendiri.
Galeri itu tampak sepi. Udara dingin, dan langit menggantung kelabu. Nancy tidak tahu kenapa ia datang. Mungkin untuk menguji dirinya sendiri. Mungkin karena ia ingin tahu apakah rasa sakit itu masih tinggal di antara dinding putih dan lukisan-lukisan yang terlalu tenang.
Ia melangkah pelan. Tapi langkahnya berhenti saat ia mendengar suara seseorang di ujung ruangan, berdiri di depan lukisan yang dulu mereka suka.
“Menurutmu... lukisan ini masih berbicara dengan cara yang sama setelah bertahun-tahun?” tanya seseorang tanpa menoleh. Suaranya pelan, tapi jernih.
Nancy menoleh. Pria itu asing. Tapi bukan asing yang membuat was-was—melainkan asing yang seperti pernah ia temui di mimpi. Wajahnya bersih, sorot matanya tenang, namun mengandung kesedihan yang tidak dibuat-buat.
“Entahlah,” jawab Nancy jujur. “Bisa jadi kita yang berubah. Bisa jadi lukisannya tetap sama, hanya saja kita tidak lagi punya cara untuk memahaminya.”
Lelaki itu tersenyum tipis, masih memandangi lukisan seolah mencari potongan hidup yang pernah ia tinggalkan di dalamnya. “Yudai,” katanya kemudian, menyodorkan tangannya.
Nancy menjabat pelan. “Nancy.”
Dan begitulah awalnya.
—
Yudai adalah seorang penerjemah lepas. Setengah Jepang, setengah Inggris, dan sepenuhnya rumit. Ia tinggal tidak jauh dari tempat Nancy bekerja sebagai asisten editorial. Mereka mulai saling bertemu, awalnya tanpa rencana. Kadang di kedai kopi. Kadang di perpustakaan umum. Kadang, saat kota terlalu sunyi untuk ditanggung sendirian.
Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi juga bukan tipe yang membiarkan kekosongan menggantung. Ia mendengarkan dengan cara yang membuat Nancy lupa kalau ia sedang menceritakan hal-hal yang biasanya disimpan rapat.
Mereka tidak pernah membahas masa lalu secara langsung. Tapi Nancy tahu—ia bukan satu-satunya yang menyimpan luka.
Pada suatu malam, di atap apartemen Yudai, Nancy akhirnya bertanya, “Apakah kamu pernah merasa kehilangan seseorang sebelum sempat mengerti maknanya?”
Yudai menatap langit, menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku kehilangan ibuku sebelum sempat memanggilnya ‘Mama’ tanpa rasa asing.”
Diam. Tapi bukan diam yang canggung.
Nancy hanya menatapnya, dan malam menjadi pengakuan yang tidak perlu dituntaskan.
—
Waktu berjalan. Mereka tidak menyebut hubungan mereka dengan apa pun. Tidak teman, tidak kekasih. Mereka hanya... dua manusia yang duduk bersama di ujung hari, membagi kesepian seperti membagi roti hangat: cukup untuk mengganjal lapar, walau tidak sepenuhnya mengenyangkan.
Nancy mulai menulis lagi. Bukan karena ingin melupakan masa lalu, tapi karena ia tidak lagi membiarkan masa lalu mendikte tulisannya. Dan dalam banyak hal, Yudai adalah jeda yang ia butuhkan—bukan untuk menggantikan siapapun, tapi untuk mengingat siapa dirinya.
Satu malam, saat mereka berjalan berdua di taman yang sepi, Yudai berkata, “Kita tidak selalu mendapatkan penutup yang kita harapkan.”
Nancy menjawab lirih, “Tapi kita bisa menulis halaman baru.”
Dan malam itu, mereka berjalan beriringan. Tanpa saling menggenggam. Tanpa janji. Tapi cukup tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian.
—
Nancy mulai menyadari bahwa hidup yang ia jalani kini bukan hanya sisa dari yang lalu, tapi sesuatu yang benar-benar baru—meski belum sepenuhnya terasa miliknya.
Di kamar yang kecil namun rapi, ia duduk sendirian dengan rambut setengah basah dan kopi yang mulai dingin. Di seberangnya, ada bayangan dirinya sendiri di cermin: seseorang yang tengah mencoba meyakinkan bahwa luka tidak selamanya berarti kehilangan.
Namun malam-malam panjang masih suka datang tak diundang.
Ada suara-suara di dalam dirinya yang tidak pernah benar-benar padam—suara yang mempertanyakan keputusan, mempertanyakan rasa. "Apakah aku cukup? Apakah semua ini berarti?" Kadang ia membalas suara itu dengan diam. Kadang dengan tangis. Kadang dengan menulis satu kalimat di buku catatannya: “Aku pernah dicintai. Dan itu tidak salahku.”
Ia tidak lagi menangis setiap malam. Tapi ia masih terbangun tiba-tiba, dengan dada sesak, seperti seseorang yang hampir tenggelam dan baru saja berhasil mencapai permukaan. Kenangan memang tak pernah mengetuk sebelum masuk.
Ia masih ingat momen-momen kecil dari hubungan yang lalu: nada suara yang berubah, pesan yang lambat dibalas, panggilan yang tak pernah dijawab. Tidak ada satupun dari itu yang cukup untuk dijadikan alasan, tapi ketika dijahit bersama, mereka membentuk kesimpulan yang menyakitkan: cinta tidak selalu hilang dengan dramatis, kadang ia hanya... memudar.
Dan itu yang paling sulit diterima. Karena tidak ada alasan yang bisa membuatmu marah. Tidak ada pecahan yang bisa kau tunjuk sebagai bukti. Hanya ruang kosong yang membesar perlahan.
Sore itu, hujan turun tiba-tiba, dan Nancy tidak membawa payung. Ia berdiri di bawah halte kecil, bersama beberapa orang asing yang sama basah dan canggungnya. Tiba-tiba ia merasa sangat sendirian. Bukan karena ia sendiri, tapi karena tidak ada orang yang bisa dikirimi pesan “aku kedinginan, jemput aku, dong.”
Ia ingin menangis. Tapi hujan sudah mewakili segalanya.
Lalu ponselnya bergetar. Satu pesan dari Yudai:
“Kalau kamu kehujanan di halte depan galeri... aku juga. Tapi aku beli dua kopi.”
Nancy menoleh. Di ujung halte, Yudai berdiri sambil menggenggam dua gelas kopi dalam plastik. Basah kuyup, tapi tersenyum kecil. Senyum yang tidak mengharapkan apapun, hanya memberi ruang.
Nancy melangkah mendekat. Tidak terburu-buru. Tidak berharap terlalu banyak.
Dan saat ia menggenggam gelas kopi itu, Nancy tahu: mungkin ia belum sepenuhnya pulih, mungkin hatinya belum sepenuhnya utuh. Tapi setidaknya, ia tidak lagi berdiri sendiri di tengah badai kecil ini.
Malam itu, Nancy kembali menulis di bukunya. Kalimatnya pendek, tapi tajam:
“Aku mulai menerima bahwa cinta tidak harus dimiliki untuk bisa menyelamatkan.”
Ia meletakkan pena, menatap langit-langit kamar, dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, ia tertidur tanpa mimpi buruk.
—
Nancy semakin jarang memeriksa ponselnya dengan cemas. Ia tidak lagi menanti pesan dari seseorang yang tidak akan kembali. Namun, ia masih menyimpan suara lama itu di kepalanya—suara lelaki yang dulu berjanji akan tinggal. Janji yang akhirnya menguap tanpa kata perpisahan.
Anehnya, hari-hari Nancy kini tidak terlalu gelap. Tapi bukan karena ia sudah sembuh, melainkan karena ia telah belajar berjalan di dalam gelap itu sendiri.
Suatu malam, Nancy duduk di jendela apartemennya, menyaksikan hujan turun lagi. Ada suara musik dari kamar tetangga—lagu lama yang dulu pernah ia sukai. Seketika, ingatan tentang tangannya yang dulu digenggam, dan mata yang menatapnya seolah dunia ini hanya milik mereka, muncul begitu saja.
Tangis itu datang diam-diam, seperti ia tak ingin mengganggu. Nancy membiarkannya. Ia tidak menghapus air mata itu, tidak pula menyembunyikannya. Ia hanya diam, menggenggam cangkir teh yang mulai dingin, dan berbisik ke dirinya sendiri: “Tidak apa-apa. Ini bukan kemunduran. Ini pengakuan.”
—
Beberapa minggu berlalu. Yudai tidak pernah menuntut waktu atau perhatian. Tapi Nancy mulai menyadari kehadirannya: cara pria itu selalu memperhatikan arah angin saat mereka berjalan, agar debu tak mengarah ke wajahnya. Cara ia diam, tapi selalu menjawab. Cara ia tahu bahwa beberapa luka tidak perlu dijawab dengan saran, hanya dengan keberadaan.
Namun Nancy takut.
Ia takut membuka pintu, lalu ditinggalkan lagi. Takut berharap. Takut tertawa terlalu keras, lalu sadar bahwa ia kembali menggantungkan dirinya pada seseorang yang bisa pergi kapan saja.
Maka ia menjaga jarak. Tepat di batas nyaman. Ia ingin tetap mengenal Yudai, tapi tidak ingin tenggelam. Ia ingin tertawa, tapi tidak ingin lupa caranya menangis sendirian.
Yudai tidak pernah memaksa. Tapi diam-diam, Nancy mulai bertanya: "Kalau aku terus menjauh, apa dia akan tetap di sini? Atau... dia juga akan lelah?"
Satu pagi, Nancy bangun lebih awal. Hatinya gelisah oleh mimpi yang samar namun mengguncang—tentang seseorang yang menggenggam tangannya dan berkata, “Aku tidak pernah benar-benar memilihmu.”
Di pagi yang pucat itu, Nancy menulis:
“Aku tidak takut jatuh cinta. Yang kutakutkan adalah mencintai dengan tulus, lalu ditinggalkan tanpa penjelasan.”
Lalu ia menutup bukunya, menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ia menelepon Yudai.
Suara pria itu di ujung sana terdengar seperti musim semi yang malu-malu.
“Ada apa?” tanya Yudai lembut.
Nancy diam sejenak. Lalu menjawab dengan jujur, “Aku tidak ingin sendirian hari ini. Tapi aku juga belum siap untuk ditemani sepenuhnya. Apa kamu bisa... hadir tanpa bertanya banyak hal?”
Yudai tidak menjawab segera. Tapi kemudian ia berkata, “Aku akan datang. Dan aku akan membawa sarapan.”
Nancy tersenyum. Tidak sepenuhnya lega. Tapi ada sesuatu yang hangat tumbuh di dadanya. Bukan janji. Bukan harapan.
Tapi kemungkinan.
—
Nancy tidak tahu persis kapan ia berhenti menanti seseorang menyelamatkannya. Mungkin saat pagi-pagi ia mulai menyeduh kopinya sendiri tanpa berharap ada yang memeluk dari belakang. Mungkin saat ia memutuskan membeli bunga untuk mejanya, bukan karena ada tamu, tapi karena ia sendiri pantas untuk keindahan itu.
Ia mulai merawat hal-hal kecil. Mencuci sprei dengan sabun yang wanginya ia sukai. Membaca buku tanpa menyelesaikannya dalam satu malam—karena ia tahu ia tak sedang melarikan diri dari kenyataan, hanya ingin duduk sebentar di halaman-halaman fiksi yang lembut.
Namun luka itu tetap ada, seperti benjolan kecil di dinding hatinya. Tidak sakit, tapi terasa. Kadang saat ia berjalan pulang dari toko, melihat pasangan berpegangan tangan, benjolan itu berdetak. Kadang saat ia mendengar lagu lama di radio toko roti langganan, benjolan itu berdenyut lagi.
Tapi Nancy tak lagi membencinya. Ia bahkan mulai melihatnya sebagai bagian dari dirinya yang paling jujur. “Aku terluka karena aku pernah mencintai,” katanya dalam hati suatu sore. “Dan mencintai bukan dosa.”
Ada masa-masa Nancy sangat ragu. Hari-hari ketika ia menatap dirinya di cermin dan bertanya, “Apa kamu baik-baik saja, atau hanya pandai bertahan?” Ia tidak selalu bisa menjawab.
Ada juga saat-saat ketika keraguan datang seperti kabut: lembut tapi membungkus segalanya. Ia bertanya apakah ia terlalu rusak untuk kembali mencintai. Bukan hanya mencintai orang lain—tapi juga dirinya sendiri.
Namun ada juga pagi-pagi terang, ketika ia bangun tanpa luka di dada. Ketika ia bisa memutar lagu yang dulu jadi kenangan bersama mantannya, dan mendengarkannya sampai habis tanpa menangis. Hanya dengan senyum kecil, lalu bergumam: “Dulu aku pernah sangat percaya pada kita. Dan itu indah. Tapi aku juga belajar percaya pada diriku sendiri. Dan itu lebih penting.”
Nancy mulai membuat jurnal. Bukan catatan luka, tapi daftar kecil hal-hal yang membuatnya merasa hidup:
Aroma kayu manis dari pasar pagi
Tawa anak-anak di taman
Sinar matahari di dinding kamar
Kalimat bagus dari novel yang tak diharapkan
Suara air mengalir dari keran yang bocor, seperti ritme rahasia semesta
Semakin lama daftar itu bertambah. Semakin banyak ia menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah rumah megah yang harus dibangun dari cinta orang lain, tapi jendela kecil yang bisa dibuka sendiri setiap hari.
Dan jendela itu—perlahan-lahan—mulai ia buka.
Nancy masih ingat perpisahan itu bukan sebagai satu hari. Tapi sebagai musim.
Ia tidak ditinggalkan dalam satu malam. Ia dilupakan perlahan-lahan, seperti seseorang yang berhenti menoleh saat berjalan. Ia dilupakan melalui balasan pesan yang semakin pendek, panggilan yang tertunda terus-menerus, dan suara yang makin hambar, hingga akhirnya tak ada lagi bunyi sama sekali.
Itu bukan patah hati yang dramatis, melainkan pembusukan perasaan dalam diam. Dan justru yang seperti itulah yang membuat Nancy merasa gila: karena ia harus membuktikan sendiri bahwa sesuatu yang dulu nyata kini tak lagi ada—tanpa pernah ada yang benar-benar bilang, “Aku pergi.”
Kadang, ia bermimpi kembali ke hari-hari itu. Hari ketika ia mulai merasa tidak cukup, ketika ia berdandan lebih rapi, tertawa lebih keras, mencoba lebih keras, berharap lebih dalam. Ia mengira cintanya bisa menyelamatkan sesuatu yang sudah tenggelam.
Tapi tidak ada yang bisa menyelamatkan cinta yang hanya tinggal di satu sisi.
Nancy pernah duduk di depan cermin selama satu jam, mengenakan lipstik yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Bukan karena ia rindu, tapi karena ia ingin tahu apakah ia masih mengenali dirinya yang dulu.
Ia tidak mengenalinya.
Perempuan dalam cermin itu tampak lebih letih. Tapi juga lebih kuat. Ada luka di matanya, namun juga ada semacam keteguhan. Ia bukan lagi gadis yang menunggu pesan balasan sambil menahan napas. Ia adalah perempuan yang tahu rasanya kehilangan arah, dan memutuskan membuat jalannya sendiri.
Namun tetap saja, luka itu belum sepenuhnya pergi.
Suatu malam, saat hujan deras menghantam jendela kamarnya, Nancy akhirnya menulis surat—bukan untuk orang yang telah meninggalkannya, tapi untuk dirinya yang dulu:
"Untuk Nancy yang masih percaya semua bisa diselamatkan,
Aku ingin bilang: kamu tidak gagal.
Kamu hanya mencintai dengan tulus.
Dan itu bukan kelemahan."
"Dia pergi bukan karena kamu tidak cukup.
Tapi karena dia tidak cukup berani untuk tinggal."
"Kamu menangis selama berbulan-bulan,
tapi tetap bangun setiap pagi.
Dan itu, sayangku, adalah keberanian yang tak bisa dilihat siapa pun."
Nancy melipat surat itu, menyelipkannya di antara halaman buku yang sudah lama tak ia buka. Bukan untuk dilupakan. Tapi agar suatu hari nanti, saat ia lupa betapa kuatnya dirinya, ia bisa menemukannya kembali.
Dan meski malam itu ia masih menangis, untuk pertama kalinya tangis itu tak disertai rasa ingin menghilang.
Tangis itu adalah pengakuan.
Ia pernah mencintai.
Ia pernah terluka.
Dan ia masih di sini.
Masih berdiri.
Masih bernapas.
Masih layak dicintai.
—
Yudai datang seperti sore yang mendung—tenang, tidak mendesak, tapi menghadirkan semacam rasa bahwa sesuatu bisa turun dari langit kapan saja.
Ia adalah kenalan lama dari sebuah proyek seni yang dulu hanya berlangsung sebentar. Nancy hampir lupa bagaimana mereka bisa bertukar nomor, tapi yang ia ingat adalah senyum tipis Yudai saat memotret sesuatu yang remeh: jendela tua, sisa cat di dinding, bayangan daun di aspal basah.
Kini Yudai muncul kembali, mengirim pesan sederhana:
"Apakah kamu masih suka mengamati hal-hal yang tidak dianggap penting oleh dunia?"
Nancy menatap layar ponselnya cukup lama sebelum membalas:
"Kadang-kadang. Saat aku tidak terlalu takut dengan dunia."
Mereka mulai berbincang lagi. Tidak setiap hari. Tidak dalam nada yang menggoda. Tapi ada kehangatan yang tidak diharapkan—dan justru karena itulah, Nancy merasa curiga. Bukan pada Yudai, tapi pada dirinya sendiri. Ia takut jiwanya yang masih mengering akan menyerap kebaikan Yudai hanya untuk mengulang luka yang sama.
Namun Yudai tidak menuntut. Ia hanya hadir.
Mereka bertemu kembali di pameran kecil, di ruang seni komunitas yang ramai tapi hening dengan caranya sendiri. Yudai masih seperti dulu: mengenakan jaket abu-abu pudar, kamera digantung di lehernya, mata yang jarang menatap langsung tapi penuh rasa ketika melihat sesuatu.
“Lukisan itu milikmu?” tanya Yudai, menunjuk kanvas kecil dengan warna-warna tanah yang redup.
Nancy mengangguk. Ia hampir berkata, "Itu tentang patah hati," tapi hanya menjawab, “Tentang hujan.”
Yudai tersenyum pelan. “Aku pikir begitu. Hujan yang jatuh di tempat yang tidak siap.”
Nancy terdiam. Lalu untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat. Bukan dinilai. Bukan ditafsirkan. Tapi benar-benar dilihat, seperti lukisan yang tak perlu dijelaskan.
Setelah pameran itu, Yudai tidak mendekat terlalu cepat. Tapi ia tidak menjauh. Ia hanya hadir dalam sela-sela hari Nancy. Dalam foto yang dikirim—tetes air di kaca jendela, burung tunggal di kawat listrik, lampu jalan yang temaram.
Nancy mulai menantikan pesan-pesan kecil itu.
Bukan karena ia jatuh cinta. Bukan karena ia ingin bergantung lagi pada seseorang.
Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa seseorang tidak ingin menyelamatkannya—hanya ingin berjalan bersamanya.
Dan bagi Nancy, itu lebih dari cukup untuk saat ini.
Nancy baru tahu Yudai seorang penerjemah ketika mereka tak sengaja duduk berdua setelah hujan mengguyur halaman belakang galeri.
“Bahasa apa yang kamu paling nikmati untuk diterjemahkan?” tanyanya, sekadar memecah diam.
Yudai menoleh perlahan. “Puisi.”
Nancy menaikkan alis. Ia tidak menyangka jawaban itu. “Bukankah puisi justru paling sulit?”
“Justru karena itu,” jawab Yudai, sambil mengusap tetes air dari lensa kameranya. “Puisi tak bisa diterjemahkan kata demi kata. Harus dirasa. Harus diimajinasikan, seolah kamu harus menjadi si penyair sebentar.”
Nancy mengangguk, lalu menatap lelaki itu dengan cara berbeda. Dalam dirinya yang diam-diam terluka, ia merasakan betapa ironi itu seperti teman lama. Betapa Yudai mungkin sama seperti dirinya—menghidupi keterpisahan.
“Ibumu orang Jepang?” tanyanya hati-hati.
Yudai mengangguk. “Ayahku orang Inggris. Tapi tak pernah benar-benar tinggal di satu tempat. Di Jepang aku orang asing, di Inggris aku eksotis. Di mana pun aku sedikit salah tempat.”
Nancy terdiam. Ia tahu rasanya menjadi orang yang tak bisa sepenuhnya dikenali.
“Pernah berpikir berhenti menerjemahkan?” tanyanya lagi.
Yudai menatap lurus ke depan. “Pernah. Tapi itu satu-satunya cara agar aku merasa berguna. Aku tak bisa menyatukan diriku sendiri, jadi setidaknya aku bisa membuat orang lain saling mengerti.”
Kata-kata itu tinggal lama di kepala Nancy.
Karena sejak awal, Yudai memang tidak datang untuk menyembuhkan.
Ia datang untuk memahami.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Nancy merasa ia tak perlu menjelaskan dirinya dalam bentuk kalimat lengkap. Yudai bisa membaca jeda. Membaca sunyi.
Seperti menerjemahkan puisi.
—
Ada sesuatu yang sulit dijelaskan tentang Yudai. Ia tidak menonjol di ruangan. Ia tidak membawa aura yang membungkus orang dengan pesona. Tapi ada keheningan yang membuat Nancy ingin duduk lebih lama ketika berada di dekatnya. Seolah dunia boleh tetap berisik, tapi kalau Yudai bicara, segalanya melambat.
Ia bukan pria yang mencoba mencuri perhatian.
Ia pria yang memahami bahwa diam juga bisa bicara.
Nancy menyadari betapa Yudai jarang bertanya hal-hal pribadi secara langsung. Tapi ia memperhatikan. Saat Nancy tanpa sadar menarik lengan bajunya sampai ke ujung jari—Yudai tahu ia sedang cemas. Saat ia menghindari lagu tertentu di playlist-nya—Yudai tak bertanya, hanya menggeser topik. Ketika ia menangis karena hal kecil, bukan karena hal kecil itu, tapi karena semuanya—Yudai tidak menghibur dengan kata-kata. Ia hanya duduk. Diam. Tapi tetap di sana.
Dan Nancy, yang terbiasa dengan orang-orang yang datang hanya saat ia kuat dan menyenangkan, tidak tahu bagaimana caranya bersikap pada seseorang yang memilih tinggal saat ia sedang hancur.
Yudai tidak pernah memaksa untuk masuk. Tapi ia selalu berdiri cukup dekat agar pintu bisa terbuka kapan saja Nancy siap.
Pernah suatu malam, mereka berbicara soal kehilangan dalam konteks yang ringan—tentang buku yang tertinggal, film yang hilang dari katalog daring, atau payung yang dipinjamkan dan tak pernah kembali.
Tapi ketika Yudai berkata, "Beberapa hal memang tidak dimaksudkan untuk kembali. Tapi kita tetap baik-baik saja, kan?"
Nancy menahan napas.
Ia tidak tahu apakah Yudai sedang membicarakan dirinya sendiri, atau mencoba menyampaikan sesuatu kepadanya. Tapi sejak malam itu, Nancy mulai mencatat dalam diam—betapa hati-hati Yudai memperlakukan waktu yang mereka punya.
Tak terburu-buru. Tak menuntut lebih. Hanya hadir.
Dan Nancy mulai takut. Karena ia tahu dirinya sedang bergerak. Bukan untuk menggantikan siapa pun. Tapi untuk membuka ruang.
Ruang yang dulu ia tutup rapat, karena terlalu sakit.
Ruang yang kini pelan-pelan diterangi oleh seseorang yang tidak mencoba menjadi cahaya, hanya ingin berdiri di sisinya saat gelap.
Nancy tidak tahu apakah ini cinta. Ia tidak ingin menyebutnya terlalu cepat.
Tapi yang ia tahu, saat Yudai mengatakan kalimat sederhana seperti, “Jangan lupa makan,” atau “Hari ini mendung, hati-hati ya,”—ada bagian dari dirinya yang retak dengan cara yang lembut.
Dan entah mengapa, Nancy merasa tidak ingin memperbaiki retakan itu.
Karena di baliknya, ada hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Nancy tidak pernah mengira bahwa seseorang seperti Yudai bisa membuatnya kembali bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku sungguh telah sembuh?
Selama ini, ia hidup dengan narasi yang ia susun sendiri: bahwa luka bisa dilipat rapi, ditaruh di laci paling dalam, dan hidup akan baik-baik saja selama tidak ada yang membukanya. Tapi Yudai, dengan caranya yang tidak mencolok, telah membuka laci itu—tidak untuk membaca isinya, hanya untuk memberi udara.
Dan itu membuat Nancy panik.
Ia mulai menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar sembuh. Ia hanya terbiasa berdamai dengan sunyi. Ia bukan bangkit—hanya bertahan. Dan sekarang, ketika seseorang mulai mengetuk dindingnya, ia gamang. Takut dinding itu runtuh, dan di baliknya hanya ada kekosongan yang bahkan dirinya tak ingin lihat.
Ada malam-malam di mana Nancy menatap layar ponsel, jari-jari menggantung di atas tombol kirim. Ia ingin menulis, "Aku takut menyukaimu." Tapi lalu ia hapus lagi.
Ia ingin berkata, "Jangan terlalu baik, aku mungkin berharap." Tapi ia tahu itu bukan salah Yudai. Ia hanya belum mampu membedakan antara ketulusan dan harapan yang tumbuh diam-diam.
Nancy selalu mengira bahwa saat ia mulai mencintai lagi, itu akan seperti film—dramatis, penuh ledakan emosi. Tapi ini tidak. Ini seperti gerimis yang meresap pelan ke dalam tanah, nyaris tak terdengar, tapi membuat akar di dalam dirinya mulai bergerak.
Dan itu justru membuatnya takut.
Pagi-pagi buta, Nancy terbangun dari mimpi yang tidak jelas. Dalam mimpi itu, ia kembali ke rumah lamanya—tempat ia pernah merasa utuh, dan juga tempat ia pertama kali patah. Di sana, ia melihat dirinya berdiri di depan pintu yang tertutup. Ia mengetuk, tapi tidak ada yang membukakan.
Nancy bangun dengan keringat dingin. Ia duduk di tempat tidur, mencoba menarik napas panjang, mencoba membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tapi satu hal tinggal bersamanya—perasaan bahwa ia masih berada di luar pintu itu. Bahwa bagian dari dirinya masih tertinggal, tidak selesai.
Ia mengirim pesan ke Yudai, meskipun jam masih menunjukkan pukul 04.12.
"Kau pernah merasa tidak pantas dicintai?"
Pesan itu tidak dibalas. Tapi hanya karena ia menuliskannya, Nancy merasa sedikit lebih ringan. Ia tidak sedang mencari jawaban. Ia hanya mencoba jujur, mungkin untuk pertama kalinya, tentang betapa dalam luka itu mencengkeram.
Hari itu, Nancy pergi ke tempat biasa mereka bertemu. Tanpa janji, tanpa kepastian Yudai akan datang. Tapi ia hanya ingin tahu: apakah dirinya masih bisa duduk di sebuah bangku, di dunia yang sama, tanpa bersembunyi?
Ketika Yudai datang—diam-diam, seperti biasa—ia hanya duduk di sebelah Nancy tanpa berkata apa pun.
Nancy menoleh. Mata mereka bertemu sesaat.
Dan akhirnya, dengan suara yang hampir bergetar, Nancy berbisik:
"Aku tidak tahu bagaimana mencintai tanpa takut kehilangan."
Yudai tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Lalu mengulurkan kamera kecil miliknya.
"Kalau kamu mau... ambil satu gambar. Apa saja. Anggap ini bukan tentang kehilangan. Tapi tentang menyimpan."
Nancy menggenggam kamera itu. Tangan gemetar.
Mungkin ini bukan penyembuhan.
Tapi mungkin ini awal dari keberanian untuk tidak lagi menyembunyikan luka.
Nancy memotret jendela kecil di kafe itu. Cahaya sore menyelinap dari sela tirai tipis, menimbulkan semburat keemasan yang membentuk siluet sendok-sendok di meja. Ia tidak tahu kenapa memilih itu. Tapi barangkali karena semuanya tampak seperti sesuatu yang pernah ia rindukan, tanpa tahu dari mana rindu itu berasal.
Yudai tidak bertanya kenapa ia memilih gambar itu. Ia hanya menerima kamera kembali, mengangguk, dan menaruhnya di meja. Lalu, hening. Hening yang tak mengintimidasi. Hening yang justru membuat Nancy merasa lebih bebas.
Nancy menatap cangkirnya. Jarinya melingkari pinggiran porselen, pelan, seperti sedang menyusun kalimat dalam pikirannya.
“Ada satu orang,” katanya, hampir seperti gumam. “Dulu... aku mencintainya seperti seseorang mencintai tempat pulang.”
Yudai tidak memotong. Tidak bersuara. Hanya duduk.
Nancy melanjutkan. “Ia tahu semua kelemahanku. Kekhawatiranku. Ia tahu aku takut ditinggalkan karena aku tumbuh dengan kehilangan yang tidak pernah sempat aku mengerti.”
Lalu ia berhenti, sejenak.
“Aku tidak pernah meminta dia tinggal. Tapi aku juga tidak pernah membayangkan dia akan pergi... seperti itu. Diam-diam. Tanpa perpisahan. Tanpa kata.”
Nancy menunduk. Matanya mulai basah, tapi tidak tumpah. Ia tidak mau menjadikan air mata sebagai bahasa utama kali ini.
“Kau tahu rasanya?” katanya pelan. “Ditinggalkan tanpa diberi kesempatan untuk bertanya apa salahmu. Jadi yang tersisa hanyalah kemungkinan, dan semua kemungkinan itu menyalahkan dirimu sendiri.”
Yudai mengangkat wajahnya sedikit, cukup agar Nancy tahu ia mendengarkan. Tapi ia tetap diam. Karena kadang, kata-kata hanya akan mengganggu yang akhirnya berani dibuka.
“Sejak itu aku tidak suka menjanjikan apa-apa ke siapa pun. Bahkan ke diriku sendiri. Karena aku tahu segalanya bisa berakhir begitu saja, meski kau rasa kau sudah cukup mencintai.”
Ia menggigit bibir. Tangan meremas bagian bawah cangkir.
“Aku tidak takut mencintai, Yudai. Aku takut... dicintai.”
Kalimat itu membuatnya sendiri terdiam. Seolah baru sadar, itulah akar dari semua penolakan diam yang ia bangun selama ini.
“Aku takut orang melihat semua yang rusak dalam diriku, dan tetap bilang mereka ingin tinggal... tapi suatu hari nanti pergi, karena ternyata aku terlalu rusak untuk diperbaiki.”
Sunyi melingkupi mereka. Tapi kali ini, sunyi itu terasa seperti pelukan yang tidak terburu-buru.
Yudai tidak berkata “kau layak dicintai” atau “kau tidak rusak.” Ia tahu, Nancy tak butuh kata-kata manis. Yang ia butuh, hanyalah ruang untuk jujur.
Dan dalam keheningan itu, Nancy merasa satu hal untuk pertama kali setelah lama.
Ia merasa dilihat.
Bukan sebagai gadis kuat yang bertahan. Tapi sebagai seseorang yang rapuh... dan masih ada yang mau tetap duduk di sisinya.
Malam itu, ketika Nancy pulang, ia menatap dirinya di cermin. Ia menyentuh wajahnya, melihat garis-garis kelelahan yang tak pernah ia akui.
Dan untuk sekali ini, ia tidak buru-buru menutup cermin itu.
Untuk sekali ini, ia berani berkenalan dengan luka itu—bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari dirinya yang tetap bertahan, tetap hidup.
Beberapa hari setelah sore itu di kafe, Nancy mulai menyadari bahwa kehadiran Yudai bukan lagi sekadar kebetulan yang menyenangkan. Ia mulai menunggu pesan, menyesap teh sambil menatap layar ponsel, berharap ada satu notifikasi dengan namanya.
Namun yang membuatnya panik bukan saat pesan itu tak datang. Tapi saat pesan itu datang. Saat Yudai menanyakan, “Mau makan siang hari ini?” dan Nancy, untuk pertama kalinya, mengetik “Ya,” tanpa perlu berpikir.
Setelahnya, Nancy duduk di tepi ranjang, cangkir di tangan, jantungnya berdetak dengan cara yang ia kenal betul—seperti dulu, ketika ia percaya pada cinta yang tidak akan pergi.
Ia tahu gejala ini. Harapan. Itulah penyakitnya.
Nancy mulai membayangkan kemungkinan yang bukan-bukan. Bagaimana jika Yudai juga menyimpan sesuatu untuknya? Bagaimana jika...?
Dan segera, ia menampar dirinya dengan kenyataan. Jangan mulai berharap. Karena harapan adalah akar dari segala kekecewaan.
Lalu ia tersenyum pahit. Lucu, ya. Aku takut kehilangan sesuatu yang belum menjadi milikku.
Dalam beberapa pertemuan berikutnya, Nancy mulai menjaga jarak secara halus. Ia datang, ia tertawa, ia bercerita. Tapi ia tidak lagi memandang terlalu lama, tidak membiarkan jemarinya terlalu dekat, tidak menjawab pesan terlalu cepat.
Dan Yudai—yang tanggap terhadap keheningan lebih dari keramaian—mulai merasa ada yang berubah. Tapi ia tidak menuntut penjelasan. Ia hanya menatap Nancy sedikit lebih lama, seolah ingin berkata: Kalau kau ingin pergi, setidaknya biarkan aku tahu kenapa.
Namun Nancy tak sanggup. Ia takut Yudai tahu betapa besar pengaruhnya, takut ia terlihat lemah, takut... ia kembali menjadi seseorang yang bergantung.
“Maaf,” ucap Nancy suatu siang, saat mereka duduk di taman. “Kalau aku terlihat... agak jauh.”
Yudai menoleh, tidak dengan tatapan penuh curiga, tapi tenang. Seperti sungai yang tahu airnya mengalir ke laut, bahkan jika harus memutar.
“Kau tidak harus menjelaskan. Tapi kalau kau mau... aku di sini.”
Nancy menggigit bibir. Dadanya sesak oleh keinginan untuk jujur, namun juga oleh ketakutan bahwa kejujurannya akan membuat Yudai menjauh.
“Aku takut menyukaimu lebih dari yang seharusnya,” katanya, lirih. “Dan lebih dari itu... aku takut kalau kau tidak menganggap semua ini berarti apa-apa.”
Yudai menatapnya, tidak terkejut, tidak juga mengelak.
Nancy menunduk. “Dan itu membuatku jadi pengecut. Aku menarik diri sebelum kau sempat menarik napas untuk pergi.”
Malamnya, Nancy menulis di jurnal kecilnya, sebuah buku yang tidak pernah ia tunjukkan ke siapa pun:
“Aku ingin mencintai dengan cara yang baru—bukan dengan menggenggam terlalu erat karena takut kehilangan. Tapi dengan cukup tenang untuk membiarkan yang datang duduk tanpa paksaan. Tapi bisakah aku melakukannya, setelah semua yang terjadi? Atau aku hanya akan selamanya jadi orang yang takut mencintai lebih dulu?”
Ia menutup buku itu. Lalu berbaring, matanya menghadap langit-langit. Harapan itu masih ada, kecil dan lembut, tapi hidup. Dan untuk pertama kalinya, Nancy tidak mencoba mematikannya.
Ia hanya membiarkannya tumbuh—pelan-pelan, dibalik ketakutan.
Karena mungkin, tidak semua luka harus sembuh dulu untuk bisa merasa bahagia lagi.
Mereka bertemu seperti biasa. Taman kecil dekat halte, bangku kayu yang menghadap ke pohon sakura yang belum mekar. Musim semi masih malu-malu datang ke kota itu.
Nancy membawa dua botol teh dingin dan sebungkus roti. Tapi Yudai hanya mengambil roti, menatap botol itu seperti sesuatu yang asing. Ada sesuatu di matanya yang berbeda hari ini—tidak redup, tapi juga tidak sedang cerah. Seperti awan yang menahan hujan, tapi belum siap mengguyur.
“Boleh aku cerita sesuatu?” tanya Yudai. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Nancy mengangguk. Ia tidak menduga kalimat berikutnya akan menghantam seperti itu.
“Aku dulu ingin berhenti jadi siapa pun. Tahun lalu, aku nyaris benar-benar menghilang.”
Nancy menoleh. Tak yakin ia paham maksudnya.
Yudai melanjutkan. “Aku kehilangan seseorang yang penting. Ibuku. Dia satu-satunya keluarga yang tersisa. Waktu itu aku sedang bolak-balik Tokyo–London untuk pekerjaan penerjemahan. Ada satu kali, aku terlalu sibuk, terlalu... percaya diri dia akan baik-baik saja sampai aku pulang.”
Ia menarik napas dalam. Nancy melihat jemarinya sedikit gemetar.
“Dia meninggal tiga hari sebelum aku sampai rumah. Stroke kedua. Dan surat terakhirnya... hanya satu kalimat.”
Nancy diam, menunggu.
“Maaf kalau aku masih menyusahkanmu, Nak.”
Suara Yudai pecah sedikit saat mengulang kalimat itu.
“Aku... tidak bisa memaafkan diriku. Sampai sekarang. Dan aku pikir, kalau aku terus berpindah—kota, negara, bahasa—aku bisa lari dari perasaan itu.”
Nancy menatap pria di sebelahnya. Wajah yang biasanya tenang, kini terbuka, rentan.
“Kau bilang takut menyukai lebih dulu. Aku... takut disayangi lagi. Karena kalau aku gagal menjaga satu orang yang paling mencintaiku, apa hakku untuk disayangi orang lain?”
Diam melingkupi mereka. Kali ini Nancy yang menggenggam jemari Yudai—tak banyak kata, hanya sentuhan hangat yang membisikkan: aku di sini.
“Yudai,” katanya, perlahan. “Aku kehilangan seseorang juga, dulu. Tapi lebih dari itu... aku kehilangan keyakinan pada diriku sendiri. Dan kurasa, di situlah kita sama.”
Ia mengangkat wajah Yudai dengan lembut, menatap matanya.
“Kita tidak perlu menyembuhkan satu sama lain. Tapi mungkin... kita bisa belajar tetap tinggal. Meski takut. Meski belum utuh.”
Yudai menutup mata sejenak. Lalu mengangguk pelan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, keduanya tidak merasa harus menyelamatkan siapa pun.
Cukup dengan hadir. Saling tahu. Dan tetap duduk di bangku itu, meski dunia tak memberi jaminan apa-apa.
Pagi hari kini tak lagi senyap sepenuhnya untuk Nancy. Meski ia masih menikmati kesendirian dalam ritual kopinya, ada satu notifikasi yang ia tunggu sebelum membuka laptop—pesan dari Yudai. Kadang hanya “Pagi, hujan di sini,” atau “Aku ketemu kata Jepang yang sulit diterjemahkan tadi malam.” Ringkas, sederhana. Tapi cukup untuk membuat Nancy tersenyum kecil di antara asap kopi.
Mereka mulai bertemu lebih sering, tapi tanpa skenario besar. Belanja di pasar lokal, membaca buku di perpustakaan kota, atau hanya duduk di halte sambil berbagi kudapan dari kedai pinggir jalan. Tak ada pernyataan cinta, tak ada ikatan pasti. Tapi setiap momen terasa seperti perpanjangan dari sesuatu yang belum bisa mereka beri nama—dan mungkin, belum perlu dinamai.
Nancy memperhatikan hal-hal kecil: cara Yudai menyeka ujung cangkir sebelum menyerahkannya padanya, bagaimana ia mendengarkan sepenuh hati saat Nancy bercerita tentang pasien di tempat kerjanya, atau bagaimana ia tidak menertawakan kecemasan Nancy yang kadang muncul tiba-tiba.
Kadang Yudai akan berhenti mengetik di laptopnya dan berkata, “Aku suka cara kamu menyebut ‘sementara’ dengan nada seperti itu, seolah kamu tahu semuanya akan berlalu tapi masih berharap tidak.”
Nancy akan tertawa. “Kamu puitis sekali untuk seorang penerjemah.”
Dan Yudai menjawab, “Aku hanya menyalin apa yang tidak bisa kamu lihat dari dirimu sendiri.”
Mereka mulai berbagi hal-hal pribadi secara perlahan. Nancy memperkenalkan Yudai pada musik-musik yang dulu hanya ia dengarkan sendirian. Yudai mengajak Nancy membaca naskah-naskah yang sedang ia terjemahkan—mereka menertawakan bagian yang janggal, berdiskusi tentang nuansa kata yang sulit diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain.
Tapi tetap, ada ruang di antara mereka. Ruang yang tidak ingin mereka isi dengan paksaan atau ketergesaan.
Suatu malam, di bawah hujan gerimis, mereka berjalan berdampingan tanpa payung. Nancy mulai menggigil, dan Yudai hanya membuka jaketnya, memayunginya dengan lengan tanpa banyak kata.
“Apa kamu pernah membayangkan kita seperti ini?” tanya Nancy tiba-tiba.
Yudai diam sesaat. “Tidak. Tapi aku juga tidak pernah membayangkan akan merasa setenang ini dengan seseorang yang masih belajar mencintai dirinya sendiri.”
Nancy menoleh. “Kita masih berantakan, ya?”
“Ya,” jawab Yudai. “Tapi setidaknya sekarang kita berantakan bersama.”
Dan malam itu, mereka berpisah di depan rumah Nancy—bukan dengan pelukan atau kecupan. Hanya tatapan tenang dan kata, “Besok lagi?”
Nancy mengangguk. “Besok lagi.”
Karena kadang, cinta tak datang dalam bentuk petir atau badai. Kadang ia hadir dalam rutinitas yang diam-diam berubah jadi sesuatu yang sakral: sebuah “besok” yang terus diulang, tanpa janji, tapi juga tanpa akhir yang tergesa.
—
Pada akhirnya, tak semua kisah menuntaskan dirinya dengan kepastian. Sebagian hanya berjalan, mengular dalam waktu, menggantung tanpa titik. Seperti Nancy dan Yudai—dua jiwa yang tak diikat sumpah, tak dikukuhkan oleh janji, namun tetap hadir satu sama lain, seakan itu cukup untuk bertahan.
Nancy mulai terbiasa menyusun pagi dengan keberadaannya yang hening namun ada. Ia tak lagi merapikan dirinya demi terlihat baik di mata siapa pun, sebab Yudai tak pernah menuntut keindahan yang rampung. Ia hanya datang dengan kekusutan yang jujur, dan itu lebih dari cukup untuk Nancy yang telah lelah berpura-pura utuh.
Terkadang, mereka berjalan berdampingan tanpa suara. Dunia di sekitar mereka mengabur, larut dalam senyap yang penuh muatan tak terucap. Di sela langkah, ada rindu yang tumbuh tanpa pemilik, harap yang menggantung tanpa pegangan. Tapi juga ada kelegaan: bahwa akhirnya mereka tak lagi sendiri dalam kebisuan itu.
Nancy, dalam diamnya, tahu betul bahwa cinta tak selalu perlu tumbuh dari pernyataan lantang. Ada cinta yang justru bersemi dari patah-patah bisu, dari keberanian saling menunggu, meski tak tahu pasti siapa yang akan lebih dulu memilih pergi.
Dan Yudai—dengan mata yang menyimpan reruntuhan musim yang tak sempat dipeluk—tetap menatapnya seperti menatap halaman terakhir dari buku asing. Penuh rasa ingin tahu, penuh takut untuk menyentuhnya lebih jauh. Sebab ia tahu, beberapa kisah tak ditakdirkan untuk selesai. Hanya untuk dirasa, sejenak, dalam intensitas yang sunyi.
Pada akhirnya, keduanya tak berjanji akan tetap ada. Mereka hanya sepakat untuk tidak menghilang begitu saja. Dan mungkin, dalam dunia yang selalu menuntut kepastian, itu adalah bentuk cinta yang paling berani.
Karena tak semua luka perlu sembuh agar bisa mencintai.
Kadang, cukup dengan saling duduk di samping luka masing-masing—tanpa menyentuh, tanpa menjanjikan sembuh—dan berkata dalam hati:
“Aku tidak akan menambalmu. Tapi aku akan diam di sini sampai kamu tidak merasa terasing dalam retakmu.”
Please log in to leave a comment.