Chapter 1:
Taste Side Story : Hare and Wolf
Rasa sedih bergelut dengan rasa kecewa, keras bertengkar ditengkuk Alda. Seperti rahangnya hendak lepas dengan sendirinya. Mungkin sebaiknya begitu. Mungkin benar begitu agar ia bisa berbagi penderitaan dengan Isterinya disampingnya. Kecewa karena, mungkin, ia tidak bisa menghentikan Pascal mengambil keputusannya sendiri. Dan sedih, karena ia mendorong Pascal untuk mengambil inisiatif dalam pertarungan sebelumnya.
Rasa geram atas dirinya, tidak membiarkan tubuhnya tertidur atau merasakan istirahat. Seperti anjing yang sedang terluka parah yang sedang menyusuri jalan. Tidak bisa, dan tidak boleh berhenti atau beristirahat. Instingnya tidak membolehkannya dan raga nya menolak sekuat tenaga.
Alda melihat pasangannya terbaring disampingnya. Ia melihat matanya masih terbuka dengan sayu. Ia menolehkan kepalanya tepat didepan kepala Pascal, bertemu langsung dengan matanya.
“Aku sangat dekat dengan mu, tapi, aku tidak bisa merasakan kita saling bertukar pandang”,
Sesekali Alda menangis.
“Lihat dirimu. Seminggu lalu kita masih berbicara soal memperbaiki atap rumah yang bocor saat hujan. Seharusnya ku serahkan saja dunia kemarin. Biar kita kembali bercanda soal kapan mau mengganti pintu rumah yang berisik itu”,
Seberapapun Alda berharap ia bertukar pandang, rasanya Pascal layaknya mayat hidup yang menunggu ajalnya. Hanya saja, malangnya, ajalnya tidak akan datang. Ia terikat dalam kontrak, lebih presisinya, kutukan dari sebuah entitas. Entitas yang jauh diatas manusia. Jauh lebih kompleks, tapi, lebih sederhana dan sedikit mudah ditebak. Creator.
Pascal tidak bisa mati. Tapi terus menerus dalam kondisi sekarat, di ambang kematian. Kapal tanpa layar yang tidak bisa tenggelam.
Bagian I : Keteguhan
Sebuah pertukaran. Sebuah ‘bargain’. Dan sebagaimana pada umumnya negosiasi, Pascal ‘gagal’ menegosiasikan satu hal ini dan sayangnya, kini ia harus membayar dengan keseluruhan hidupnya. Tawaran yang bayarannya lebih besar daripada hidup dan mati, yang signifikansinya melebihi nyawanya sendiri dan Alda. Tindakannya seperti membuang hidupnya secara percuma.
Ia mencoba [mengutuk] seorang Creator.
Seperti seekor rusa melawan kawanan singa betina. Ia, dalam keputusasaannya, berharap dan bertindak gegabah. Entah secara sesungguhnya memang gegabah, atau instingnya berbohong padanya. Creator adalah makhluk kompleks, baik secara struktur badan, jiwa, serta individunya sendiri. Mereka tidak bisa, dan mungkin, tidak melayakkan dirinya sendiri berjalan bersamaan dengan manusia dibawah matahari yang sama. Mereka adalah entitas yang memandang tinggi dirinya sendiri. Keangkuhan ini, notabene, bukan sebuah sikap tanpa dasar.
Mereka, Creator, adalah sebuah Benteng berjalan. Adalah dia yang tidak perlu berteduh ketika badai datang, dan tidak perlu menutup telinga ketika petir menyambar. Secara fisik dan kekuatan, membandingkannya dengan manusia pada umumnya terasa seperti menghinanya mentah-mentah. Kekuatan serta sikap angkuh ini datang dengan satu jenis behavior yang manusia harus besyukur atasnya. Individualisme.
Creator tidak memiliki konsep hidup komunal. Sebagaimana hidup bersama adalah wujud kelemahan sebuah spesies. Ia yang tidak bisa bertahan hidup sendiri bertukar penderitaan dan mencuri kesempatan. Tentu, tidak perlu merasa malu akan hal itu. Namun bagi para Creator? Tidak ada tendensi untuk merasa demikian.
Pascal disisi lain, bukanlah seorang Creator. Jelas. Ia hanyalah salah satu bidak. Seekor anjing Eschelon yang sudah sejak lama dibuang tuannya. Dan dalam hal apa seekor semut bisa melawan seekor belalang dalam adil? Perbandingannya membuat mayat tertawa, sementara ruangan itu hening. Dingin seperti es.
Silence. Sebuah nama yang masih bersarang dikepala Alda. Apakah ini rasa benci? Rasa takut terhadapnya? Bukan keduanya. Ia adalah memori hidup tanpa rasa yang selamanya terpatri dalam ingatan Alda. Tubuhnya tinggi, nyaris 3 meter. Ia jelas terlihat seperti manusia, tapi kepala dan beberapa ornamen badannya berbalut besi. Kepalanya tidak menunjukan rupa wajah sebagaimana wajah manusia. Ia, Silence, tidak memberi tahu, atau tepatnya, tidak perlu bersusah payah memberitahu Alda dan Pascal. Mereka sudah tau bahwa dihadapannya, saat itu, adalah ombak yang datang dengan tegas. Meraung dan mengoyak semua konsep dan logika. Seorang Creator berdiri tepat didepannya dan tinggal sejengkal lagi menghabisi nyawa keduanya.
Perlawanan yang sia-sia, didorong oleh keputusasaan.
Dalam keputusasaannya, Pascal mencoba [mengutuk] Silence. Seorang Creator yang menyergap segel ke-7 Colosal Beast R2. Seluruh anggota kelompok penjaga segel kecuali Alda dan Pascal telah lenyap dihabisi oleh Silence. Perbedaan kekuatan antara Silence dengan Pascal terlalu jauh. Ia, Pascal, tidak bisa melihat puncak dari gunung yang didakinya. Terlalu lelah, dan mustahil untuk terus berlari. Dibawahnya, terlihat figur yang berdarah-darah, perlahan mendekatinya. Tangannya mengulur dan mendorong pundak Pascal untuk terus mendaki keatas. Alda menatap tajam pada Pascal. Ia tidak boleh mati. Ia melarang dirinya sendiri mati, seolah berdialog dengan malaikat maut.
“Alda. Aku takut. Aku ‘ga bisa berjalan lagi. Kaki ku menggigil karena takut. Tapi aku ga bisa berhenti. Aku ga ingin berhenti,” – Pascal.
“Kalau mau tetap melanjutkan pertarungan ini, kamu tau aku ga akan mencoba menghentikan mu. Heh.. Kita berdua udah diujung kematian,” – Alda, membalas dengan tenang.
“…. Aku ragu. Aku ingin tetap berlari walau kaki ku patah. Tapi aku takut berlari sendirian. Kalau kita kabur dari pertarungan ini, ribuan, jutaan orang bakal mati. Pasti mati,”
“Kita bukan malaikat, Pascal. Atau Dewa. Tidak akan ada yang menyalahkan mu kalau tidak bisa melindungi mereka,”
“Aku ‘gak sekuat itu untuk menanggung bebannya. Perasaan ini benar-benar membunuhku. Haha.. dan mereka bilang cinta membunuhmu. Bukan begitu?”,
“kurasa mereka ga salah. Aku bakal mati karena cinta ini, aku ga punya hal lain selain kamu, Pascal. Aku ingin melihat dunia dimana ada diri mu di dalamnya. Dunia selain itu, rasanya seperti penjara,”-
“Kalau begitu…” – Suara Alda sedikit berubah. Menguat. Percaya diri.
“Kalau begitu, Alda. Apakah kamu mau menemaniku sekali lagi berjalan di jalan Iblis ini? Aku mau mencoba sekali lagi membuat dunia itu. Dunia dimana ada kamu dan aku didalamnya,”
Alda tersenyum. “Ya”
“Kalau sesuatu hal terjadi. Jangan lupain aku,”
Alda dengan pelan, menggenggam tangan Pascal. Dengan bercak darahnya kini mengenai tangan pascal, ia mengeratkan genggamannya. Matanya tegas memandang kearah Pascal. Ia berkata, tidak hanya dengan mulutnya, tapi dengan jiwa dan keteguhannya.
“Aku, Alda Ignac, bersumpah dengan seluruh jiwaku dan seluruh tenaga yang aku miliki. Aku ‘ga akan melupakan mu, Pascal Lazarus Ingrid. Sampai aku mati, sampai sejauh manapun lu berada, aku akan menemukan mu lagi.” – Alda.
[CONT-]
Please sign in to leave a comment.