"Kenapa kalian semua memanggilku Raja Iblis?" Suaraku terdengar dingin, menggema di ruang singgasana yang megah namun sunyi.
Aku duduk di kursi hitam besar, menatap bawahanku yang masih berlutut dengan hormat di bawah cahaya biru redup. "Aku hanya manusia biasa, kau tahu."
Pelayan wanita di hadapanku berbaring lebih rendah lagi, suaranya sedikit bergetar. "Maafkan kata-kataku, Tuanku... Kami sedang mencari penerus mantan Raja Iblis. Kami melihat kebencian yang mendalam dalam dirimu, dan itulah... yang membuatmu layak menjadi penguasa baru dunia ini."
Aku teringat sejenak. “Raja Iblis, ya…” bibirku membentuk senyum tipis. "Bukan gelar yang buruk." Dengan nama ini, mungkin balas dendamku bukan lagi mimpi.
"Jadi, siapa namamu?" tanyaku kemudian, mataku isinya.
"Lirena, itu namaku, Tuanku,"
jawabnya lembut namun tegas.
"Lirena, ya..." Aku bangkit dari kursiku, menatap bawahanku yang masih berbaring. "Baiklah. Lirena, ikut aku. Aku ingin melihat dunia ini... terutama kota manusia."
Semua bawahanku membungkuk serentak, rasa hormat memenuhi ruangan. Tapi aku bisa merasakan rasa penasaran dari beberapa dari mereka.
"Baik, Tuanku!" jawab Lirena tegas.
Sebelum aku sempat melangkah, ia cepat-cepat menambahkan, "Tunggu, Tuanku... Aku harus menyamar sebagai manusia dulu. Dan Anda juga... tolong sembunyikan aura Raja Iblis Anda saat kita di luar."
Aku mengangguk pelan. "Baiklah." Untuk saat ini, aku akan menjadi bayangan. Tenang, biasa saja, tapi selalu mengawasi. Sama seperti diriku yang dulu—hanya saja sekarang, aku memiliki kekuatan yang tak pernah bisa memahami dunia ini.
Lirena tersenyum tipis, lalu memberi perintah kepada beberapa pelayan. Mereka segera mulai mempersiapkan penyamaran dan mengumpulkan informasi tentang dunia manusia.
Dalam pikiranku, sebuah rencana sederhana mulai terbentuk—untuk mencium, mengamati, dan menunggu waktu yang tepat untuk membalas segalanya.
Kota Xyres
Kota ini disebut Xyres, tempat manusia dan iblis pernah menumpahkan darah demi kekuasaan. Bangunan-bangunannya tinggi, berlapis batu hitam dan logam ajaib, diterangi cahaya kristal biru di malam hari. Kota itu terasa hidup, namun membawa aura misterius yang membuat siapa pun yang masuk tetap waspada.
Aku berjalan di sepanjang jalan sempit, wajahku tersembunyi di balik tudung hitam, menyembunyikan identitasku.
Lirena mengikuti di belakang, menjaga jarak, meskipun matanya terus mengamati sekeliling.
"Aku harus menemukan mereka semua," gumamku pelan. Lalu, aku memanggil jendela sistem di pikiranku.
Status... BUKA!
Nama: Fujiki NishiUsia: 15Tipe: PembunuhGelar: Raja IblisKecepatan: ???????????????
Beberapa detik kemudian, status layar menghilang dengan sendirinya. Aku menatap kosong ke udara. "Apa-apaan ini..."
"Tuanku," panggil Lirena lembut, suaranya lembut namun memerintah.
Aku sedikit berbalik, menurunkan tudungku agar wajahku tidak terlihat. "Ada apa, Lirena?"
Ia memandang tajam. "Apakah kamu berencana memulai perang dengan manusia?" tanyanya hati-hati.
Aku menahan senyum tipis. "Eh? Tidak. Aku hanya ingin melihat dunia ini dulu." Nada suaraku tenang, tapi dingin. Bagaimana mungkin aku mengatakan padanya bahwa yang benar-benar kuinginkan... adalah balas dendam?
Di balik wajahku yang tanpa ekspresi, pikiranku terus berputar. Kota Xyres bukan sekadar tempat tinggal manusia... Itu adalah panggung di mana aku akan membalas masa laluku, satu per satu.
Lirena mengangguk kecil. "Dimengerti, Tuanku. Aku akan tetap berjaga." Matanya menatapku sejenak, seolah tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenanganku. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sesaat kemudian, mataku menangkap dua wajah yang familier. Dua orang dari masa laluku. Teman-teman Arel—mereka yang dulu berpikiranku.
Aku berhenti berjalan. Napasku tercekat sejenak. "Lirena." "Baik, Tuanku?" "Keduanya..." Aku menoleh ke arah mereka. "Ikuti aku."
Kami berjalan perlahan ke arah mereka. Langit senja di atas Xyres semakin gelap, angin membawa debu tipis dan aroma besi. Sempurna untuk menguntit.
"Hei, kalian berdua." Suaraku datar, namun setajam pisau.
Mereka berbalik. Salah satu dari mereka melorot mengejek. "Apa? Siapa kalian? Kenapa kalian memanggil kami!?"
"Jangan banyak bicara." Aku menatap lurus ke arah mereka. "Ikut aku. Ada yang ingin kubicarakan."
Mungkin karena aura atau memunculkanku, tetapi mereka mengikutinya tanpa membantah. Kami berjalan ke gang sempit di belakang pasar. Tempat itu gelap, sunyi, dan jauh dari mata-mata yang mengintip.
Sesampainya di sana, aku bisa merasakan niat membunuh di udara... Bukan dariku, tapi dari mereka. Jadi inilah wajah asli mereka... yang disebut 'pahlawan'. Mereka yang bertindak kuat di hadapan orang lain, namun jiwa mereka busuk di dalam.
Aku menyebarkan tipis dalam bayangan. Betapa bodohnya aku saat itu... lemah dan tak berguna. Sekarang, mari kita lihat... siapa yang sebenarnya lemah.
"Jadi apa maumu, hah!? Jangan buang-buang waktu kami!" bentak salah satu dari mereka. Yang satunya meleotot ke arahku, membayangkan-pura terlihat berani.
Aku tetap diam. Suara lembut langkah kaki Lirena adalah satu-satunya yang menggema di udara. Lalu, akhirnya aku bicara—suaraku dingin. "Kalian berdua kenal seseorang bernama... Fujiki Nishi?"
Seketika, wajah mereka memucat. Ketakutan tergambar jelas di mata mereka.
"B-bagaimana kamu tahu nama itu menyodok itu!?" teriakan salah satu dari mereka, suaranya bergetar.
Lirena, berdiri di sampingku, menatap tajam ke arah mereka. Aura magisnya mulai menyebar, membuat udara bergetar. "Tenanglah, Lirena," kataku lembut tanpa diawasi. Dalam sekejap, auranya lenyap.
Perlahan, aku melepas tudung hitamku. Angin dingin di gang sempit itu menerpa wajahku, menampakkannya sepenuhnya.
Wajah yang pernah mereka hancurkan... kini balas menatap mereka, tanpa ampun.
"Apa kau bahagia?" Tanyaku datar. “Dulu kau sering memukulku... menertawakanku... mempermalukanku di depan semua orang.”
Mereka gemetar. “T-tidak mungkin... i-itu kau... Fujiki!?”
Aku tidak menjawab. Aku hanya diam saja.
Please sign in to leave a comment.