Chapter 1:
Ringkuh Dalam Rengkuh
—
Ada yang tak pernah selesai dari cara kita berpelukan—selalu terasa seperti perpisahan yang tertunda, bukan kehadiran yang dirayakan.
Aku masih ingat pelukan terakhirmu. Bukan karena hangatnya, tapi karena betapa kosongnya. Rengkuh itu seharusnya pulih, namun justru menyisakan luka yang tak tahu harus ditambal dengan apa. Tubuhmu dekat, tapi jiwamu sudah tak lagi menjejak di ruang yang sama denganku.
Kau memelukku seperti mengucapkan selamat tinggal yang tak kau lafalkan. Lembut, tapi gamang. Lama, tapi ringan. Seolah seluruh beratmu telah kau titipkan di tempat lain. Seolah-olah aku bukan lagi rumah, hanya persinggahan terakhir sebelum kau berjalan pergi tanpa perubahan.
Dan aku? Aku baik-baik saja.
Aku mengulang kembali di dalam rengkuhmu. Runtuh diam-diam, seperti bangunan yang lelah menyangga langitnya sendiri. Tak ada air mata, hanya kesunyian yang menempel di tenggorokan, tajam seperti menjaga-keping harapan yang tak lagi utuh.
Kau bilang, "Peluk aku, agar kita baik-baik saja."
Tapi pelukan itu tak pernah menyembuhkan. Ia hanya menjadi penanda bahwa kata baik-baik saja akhirnya adalah ringkasan yang kita pelihara bersama. Kita berpelukan bukan karena ingin bertahan, tapi karena tak tahu cara lain untuk melepaskan tanpa terasa terlalu sakit.
Malam itu, waktu berhenti sejenak di antara lenganku yang mengunci tubuhmu—bukan untuk menjagamu, tapi karena aku terlalu takut kehilangan. Kau menunduk, aku memejam. Tak ada kata-kata, hanya napas yang saling bersilangan seperti dua garis yang pernah bersisian tapi tak pernah benar-benar menyatu.
Setelah kau pergi, bekas pelukan itu menggantung seperti kabut: samar, dingin, dan bermalas-malasan tanpa benar-benar memeluk balik. Dan aku, terus ringkuh dalam rengkuh yang seharusnya menguatkan tapi malah meluruhkan.
Kini, setiap kali aku merindukanmu, aku tak membayangkan wajahmu. Aku hanya mengingat pelukan itu—rengkuh yang terasa seperti permintaan maaf tanpa kata, pengakuan diam bahwa cinta bisa kalah oleh jarak, oleh waktu, oleh hal-hal yang tak pernah kita bicarakan.
Dan saya bertanya dalam hati:
Apakah semua orang merasa ringkuh dalam rengkuh? Ataukah hanya aku yang terlalu berharap pelukan bisa menyelamatkan sesuatu yang sudah tenggelam sejak lama?
Minggu-minggu setelah itu terasa seperti menatap bayangan sendiri di jendela yang berembun. Ada bentuknya, ada jejaknya, tapi tak pernah benar-benar nyata. Aku seperti mengulang kembali pelukan itu dalam pikiran— memutar film usang yang gambarnya mulai kabur, tapi tetap kutonton dengan saksama, seolah berharap menemukan makna baru di balik tiap gerakan lambatnya.
Ruang kamar terasa lebih luas setelahmu, dan itu bukan hal yang baik. Kekosongan tak lagi diam; ia bergerak, menyusup ke sela-sela napas dan tidurku. Setiap sudut menjadi saksi bahwa pernah ada kau—entah lewat sweater yang tak sengaja kau tinggali, atau tawa kecilmu yang nyaris tak bisa kukenang tanpa merasa remuk.
Lucu ya? Kita membangun kebersamaan seperti menanam pohon, tapi lupa bahwa musim gugur pun akan datang.
Aku masih memeluk bantal itu seolah bisa menggantikan punggungmu. Masih menyimpan cangkir kopimu yang retak di bagian tepinya, karena kau bilang “segala yang luka tetap bisa menampung hangat.” Tapi tak ada yang hangat tersisa sekarang. Yang ada hanya mengajarkan kata-kata yang dulu kita percaya: bahwa bersama akan selalu cukup.
Kenyataannya tidak.
Rengkuh kita tak pernah menjadi rumah. Ia hanya menjadi tenda yang kita dirikan di tengah badai, perlindungan sesaat lalu tercerai angin. Dan kini aku hanya penunggu—penunggu dari sesuatu yang tak pernah berniat kembali.
Kau tahu, mungkin jika saat itu kau memelukku lebih erat, aku bisa percaya bahwa kita akan tetap ada. Tapi kau memelukku seperti memegang pasir: terlalu hati-hati hingga akhirnya semuanya jatuh dari sela jari.
Aku ingin marah, tapi tak bisa. Karena bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang pernah menemukan kenyamanan di dadanya? Bagaimana mungkin aku mengutuk rengkuh yang pernah membuatku merasa utuh, meski hanya sesaat?
Kini aku belajar hidup dengan pelukan yang tak pernah selesai—dengan ringkuh yang menetap, dengan kehilangan yang tidak meledak, hanya mengikis perlahan.
Dan jika suatu hari kita bertemu lagi, mungkin aku tak akan berkata apa-apa. Aku hanya akan berdiri diam, menatapmu dengan jarak yang sama seperti waktu: tak bisa disentuh, tak bisa diulang, hanya bisa dirasakan lewat sesal yang tak bernama.
Karena terkadang, yang paling menyakitkan dari sebuah rengkuh bukanlah kegagalan setelahnya.
Tapi kenyataannya sejak awal, dia tak pernah benar-benar memeluk kembali.
Ada malam-malam ketika tubuhku masih bereaksi terhadap ingatanmu—seperti alarm yang tak bisa dimatikan. Aku terbangun tanpa alasan, hanya untuk duduk di tepi kasur dengan nafas pendek dan dada sesak, seolah bayangmu baru saja lewat di ambang pintu.
Kupikir waktu akan menipiskan jejakmu, menghaluskan sudut-sudut kenangan hingga tak lagi melukai. Tapi ternyata waktu hanya membuat luka itu belajar diam. Ia tidak menghilang—ia menetap, menetap di dasar dada, menunggu momen-momen lengah untuk muncul dan menghantamku dengan keras.
Seperti saat aku membuka lemari dan menemukan jaketmu yang terselip di antara pakaianku.
Atau ketika hujan turun tiba-tiba, membawa aroma tanah basah yang entah kenapa mengingatkanku pada caramu dikirimkan saat kita melintasi seberang jalan.
Hal-hal kecil. Remeh. Tapi justru dari situlah ringkihku bermula.
Anda tidak benar-benar pergi dengan dentang pintu atau isak terakhir. Kau menghilang perlahan—lewat keenggananmu mengirim pesan, lewat senyuman yang semakin jarang muncul, lewat pelukan yang mulai terasa seperti formalitas. Hingga akhirnya, tak ada lagi yang bisa kusebut sebagai kita. Hanya kamu. Dan aku. Dipisahkan oleh keretakan sunyi yang tak pernah sempat kita beri nama.
Sekarang, aku tahu.
Rengkuh bukan selalu tentang pelukan. Kadang-kadang ia hanya terwujud dari harapan yang kita bangun terlalu tinggi, hingga saat jatuh, tak hanya tubuh yang hancur, tapi juga isi hati yang pernah percaya pada kemungkinan.
Dan ringkih… ringkih itu adalah aku yang masih menyisakan tempat di sebelahku, setiap kali duduk di bangku panjang taman tempat kita biasa menunggu matahari terbenam. Adalah aku yang masih menyisakan sebagian piring makan malam, entah untuk siapa, entah untuk apa. Adalah aku yang masih memutar lagu yang kau suka, lalu membencinya setelahnya karena nadanya terasa seperti rindu.
Aku menulis ini bukan untukmu, sebenarnya. Aku menulis ini untuk diriku sendiri—untuk memberi tahu bahwa tidak apa-apa jika rengkuh itu hanya sepihak. Bahwa cinta tidak harus dimenangkan. Bahwa ada pelukan yang tak pernah kembali, dan kita tetap bisa hidup tanpanya.
Pelan-pelan, aku belajar melepaskan. Bukan karena kau tak berarti, tapi karena aku tak mau terus hidup dalam luka yang kubiarkan tumbuh.
Jika nanti aku bisa tersenyum pada kenanganmu merasa tanpa sesak, maka aku tahu: ringkih ini telah belajar berdamai dengan rengkuh yang tak pernah jadi rumah.
Dan itu cukup.
Malam itu, angin membawa gigil dari jendela yang lupa menutup rapat. Aku berdiri, menarik tirai perlahan, lalu menatap ke luar—ke jalanan lengang yang pernah jadi Saksi kaki-kaki kita menapak, tertawa, diam, berbincang, dan berbaikan. Di sana, jejak kita mungkin sudah terhapus hujan, tapi di benakku, mereka belum pernah benar-benar pudar.
Aku menyandarkan dahiku ke kaca. dingin.
Seperti kau di akhir-akhir waktu kita.
Kau tak pernah berkata “selamat tinggal.” Dan anehnya, justru itulah yang paling menyakitkan. Karena tanpa kata itu, aku terus berharap, terus menyisakan ruang di kepalaku untuk kepulangan yang tak datang datang. Tanpa pamit, seseorang bisa terus hidup di ruang imaji, menetap di celah-celah yang seharusnya sudah kubersihkan.
Dan aku, rupanya terlalu lihai menciptakan hantu dari kenangan.
Kupikir, yang membuatku ringkih bukan hanya kehilanganmu. Tapi juga rasa bersalah karena tak cukup mampu menahammu. Karena aku yang dulu memilih diam saat kau mulai menjauh, berpikir kau hanya butuh ruang, padahal mungkin—kau butuh aku.
Kini semuanya adalah kemungkinan. Dan kemungkinan besar selalu menyiksa, karena dia tak memberi jawaban.
Tapi hidup tak bisa digantung terus di antara “andai” dan “seandainya.”
Aku tahu itu.
Maka malam ini, untuk pertama kalinya, aku menyalakan lampu kamar bukan karena takut gelap, tapi karena aku ingin melihat diriku sendiri—seutuhnya. Ringkih, ya. Tapi masih berdiri. Luka, ya. Tapi masih bernapas. Sendirian ya. Tapi tak lagi kehilangan arah.
Rengkuh itu tak harus dari orang lain. Kadang-kadang, kita harus memeluk diri sendiri dulu—dengan segala retaknya, sebelum benar-benar siap membuka pintu lagi.
Dan ketika lagu lama itu kembali mengalun entah dari mana—suara yang dulu membuat saya ingin menangis, kini hanya membuat napas menarik pelan.
Tidak semua nada harus diulang.
Beberapa cukup dikenang.
Besok pagi, aku akan membereskan sisa-sisa yang selama ini sengaja kubiarkan tertinggal. Foto-foto dalam bingkai kusam, secarik tiket bioskop yang menguning, surat yang tak pernah sempat kukirim. Benda-benda kecil yang dulu menyelamatkanku dari lupa, tapi kini hanya memperpanjang perih.
Akan kutaruh mereka dalam kotak kayu di bawah tempat tidur—bukan untuk dilupakan, tapi untuk dipisahkan. Supaya aku tahu: ada tempat untuk kenangan, tapi bukan lagi di ruang tempat aku ingin tumbuh.
Sebab ada luka yang tidak bisa sembuh, hanya bisa diajak hidup berdampingan. Dan tidak apa-apa.
Aku mulai belajar membedakan antara mengenang dan menghidupi kembali. Keduanya serupa, tapi tidak sama. Yang satu memberi ruang untuk damai. Yang satu ini terjadi di masa lalu yang tak akan pernah berubah. Aku memilih yang pertama.
Ada kekuatan dalam pengakuan: bahwa aku rapuh, bahwa aku merindukanmu, bahwa aku pernah berharap lebih lama, lebih hangat, lebih utuh. Tapi ada juga keberanian dalam mengambil jarak. Bahwa hari ini, aku memilih berdiri, meski dengan kaki yang gemetar.
Pagi nanti, ketika cahaya menembus tirai tipis kamarku, aku akan membuat secangkir teh, bukan kopi. Kau tahu, kopi selalu membawaku padamu. Aku ingin memulai hari tanpa rasa getir.
Mungkin aku akan berjalan ke taman, tempat kita biasa duduk di bangku yang menghadap matahari. Tapi kali ini, aku tak akan menunggu siapa-siapa.
Aku akan duduk sendiri. Aku akan menatap langit. Aku akan tersenyum, meski pelan, meski masih dengan sisa air mata.
Karena akhirnya aku paham…
Rengkuh tak selalu berarti memiliki.
Dan ringkih tak selamanya berarti kalah.
Kadang-kadang, justru dari ringkih itulah kita belajar paling banyak tentang kekuatan. Tentang bagaimana berdiri, bukan dengan dada membusung, tapi dengan hati yang tetap lembut.
Dan bila suatu saat lagu lama itu kembali terdengar, saya akan membiarkan mengalun. Tapi kali ini, bukan untuk mengenangmu. Hanya untuk menandai bahwa aku telah sampai sejauh ini—tanpamu.
Dan itu sudah cukup.
Sudah sangat cukup.
Please log in to leave a comment.