Chapter 4:
The Triple Date
Hari ketiga masuk sekolah, keenam pelajar tersebut masih belum juga menemukan guru pembimbing yang cocok untuk klub tertutup mereka.
"Bu Titi, ibu mau jadi guru pembimbing klub kami, tidak?" Tanya Miya dengan guru matematikanya.
"Maaf Bercia, ibu sudah sulit mengatur waktu sengga ibu. Ibu tidak bisa menjadi guru pembimbingmu dan teman-temanmu."
Mata Miya berkilau-kilau dan ia pun dengan senangnya berkata, "Oh, ibu nggak tau aja. Kami perlunya guru pembimbing seperti ibu!"
Terkejut dari pernyataan Miya, Bu Titi bertanya, "Apa maksud kamu?"
Miya dengan bangga menjelaskan, "Kami perlu guru yang jarang mengawasi kami!"
Bu Titi menegur Miya dengan berkata, "Oh sayang, memang benar ibu tidak bisa mengawasi kalian tapi ibu benar-benar tidak bisa menjadi guru pembimbing kalian karena setiap hari sabtu, ibu sibuk."
Dengan secepat kilat muka Miya berubah dari kelap-kelip menjadi gelap, "Ah, baiklah Bu. Maaf menggangu waktu istirahat ibu."
Hari keempat mereka tetap berusaha mecari guru yang tepat.
"Bimo, bapak sudah berulang kali ngomong ke kamu ya. Kamu nggak bisa maksain bikin bapak ngurusin dua klub sekaligus. Bapak ngurusin anak-anak main instrumen tuh banyak memakan waktu", seru guru musik Bimo.
"Tapi pak..." Bimo ingin menjelaskan tapi ia disela.
"Sebagai osis seharusnya kamu lebih ngerti dari yang lain. Sudah sana gunakan waktu istirahatmu untuk makan siang", seru guru musik Bimo sambil menglambaikan tangannya dengan gaya mengusir.
"Tuh, udah ye. Gua udah berusaha", seru Bimo kepada Luna yang berada dipintu depan ruang guru.
"Hmm, kok bisa ya Go-sensei pegang dua klub", pikir Luna sambil bersuara.
"Go siapa?" Tanya Bimo.
Luna malu karena tidak sengaja mengeluarkan isi pikirannya dengan keras, mukanya pun memerah dan mendorong Bimo, "Su... sudahlah kita cari lagi yang lain. Lagipula ini dunia asli, nggak mungkin juga nanti-nanti kita bertukar tubuh atau ganti umur."
Bimo semakin bingung, saat dia terdorong, dia bertanya kembali, "Kamu ngomongin apa sih?"
Hari keempat dan juga hari terakhir, mereka masih kesulitan untuk menemukan guru pembimbing untuk klub mereka.
"Maaf Armando, ibu tidak bisa", seru bu guru kepada Arji.
"Tapi Bu Endang...", sebelum melanjutkannya ia mengangkat poninya dan bergaya keren didepan bu Endang dengan mata kucing dan wajah sedih, "Plis dong, kita perlu banget guru pembimbing."
Bu Endang melihat Arji yang berbunga-bunga tetapi dengan refelex Bu Endang menampar Arji dengan kertas tebal yang berada di mejanya. Arji menerima tamparan tersebut dengan kesakitan sedangkan Bu Endang terlihat memerah dan menutupi hidungnya.
"Maaf Armando, apa pun yang kamu lakukan ibu tetap menjawab tidak."
"Iya bu, maaf sudah menganggu", Arji berjalan menuju pintu ruang guru.
Sebelum benar-benar keluar dari ruang guru, Arji menoleh ke belakang. Ia melihat sambil menunggu Miya dari usahanya untuk menarik perhatian guru lain.
"Bapak tidak ingin menjadi guru pembimbing yang tidak punya arahannya, nak. Kalo mau kamu cari guru ke gedung SD, SMP, atau SMK", seru pak guru.
"Tapi Pak Yanto...", sebelum Miya melanjutkan kalimatnya, ia menggenggam kedua tangannya seperti sedang berdoa dan menarunya didekat dagunya. Miya juga melakukan muka kucing dan wajah sedih seperti Arji, "Plis dong. Kita perlu banget guru pembimbing."
Pak Yanto melihat Miya yang berbunga-bunga, lalu dengan tidak sengaja menembakan mimisan dari hidungnya tepat ke muka Miya. Miya tak dapat bergerak tetapi ia hanya bisa berkedip beberapa kali untuk menghilangkan mimisan dari mukanya.
Pak Yanto tidak yakin apa yang barusan terjadi, dia pun berseru, "Apa barusan itu? Aku tidak pernah merasa ingin mengeluarkan darah yang banyak dari hidungku seumur hidupku."
Miya merasa terkalahkan menjawab, "Hehe, maaf pak. Saya permisi dulu."
Miya berjalan ke pintu ruang guru dengan postur tubuh yang sama. Arji pun berseru, "Hehehe, sepertinya elu juga nggak beruntung ya?" dia tertawa cekikikan melihat wajah Miya yang berwarna merah.
"Ihhh... awas ya kamu Arji!" Miya ngamuk gemesin.
Arji menahan ketwanya dan memberikan bantuan, "Sini berikan tangan lu, gua tuntun ke toilet lantai satu."
Miya memberikan tangan kanannya dan Arji menuntunnya. Sambil berjalan Miya berseru, "Sepertinya menggunakan wajah kita juga tidak berhasil."
Arji membalas, "Gua sebenarnya nggak yakin juga kalo pandangan sekilas kita dapat digunakan di situasi seperti ini."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Kita sudah tidak punya waktu lagi!" Bimo menyampaikan kesemua kelompoknya kecuali Ruko saat jam pulang sekolah.
"Eh? Dimana Ruko?" Tanya Joko.
Luna menjawab, "Dia sudah memilih kegiatan ekstrakulikulernya. Sekarang dia berada di lapangan gedung utama."
Joko membalas Luna, "Ueh? Dia udah milih ekskulnya? Cepet juga."
Luna jawab, "Dia itu aktif kegiatan sekolah, tentu saja dia langsung memilihnya."
Kelima pelajar tersebut sedang berkumpul didepan ruang osis berdiskusi tentang guru pembimbing mereka. Bimo sedang melihat list guru-gurunya yang memiliki potensi sebagai guru pembimbing namus semua kandidat sudah tercoret yang berarti sudah tidak ada kandidat lain lagi.
Bimo pun bertanya pada Joko, "Bro, kamu udah cek guru-guru SD kan?"
Joko menjawab, "Udah. Mereka tidak ada yang mau mengurus kita. Bu Yanti saja tidak suka dengan apa yang kita lakukan."
Dengan muka datar, Bimo membalas, "Ok sip."
Bimo melihat sekeliling dan berseru, "Sayangnya Ruko tidak ada disini. Kalo dia disini kita bisa bertanya tentang guru-guru digedung SMP dan SMK."
Luna dan Miya melihat satu sama lain, Miya berseru, "Guru literasi sudah tanya belum, Lun?"
Luna menjawab, "Sudah, dan jawabannya tidak. Kalo guru matematika kamu gimana, Miy?"
Miya menjawab dengan menyesal, menutup matanya dan mengayunkan kedua tangannya yang digenggam naik turun, "Bu Titi juga tidak mau."
Bimo mendengar itu kecewa lalu ia berseru, "Ya sudahlah, aku perikasa formulir kita dulu. Seharusnya sudah dipersetujui."
Bimo memasuki ruangan osis dan bertemu seseorang dengan aura kakak kelas yang besar. Seseorang tersebut adalah ketua dari OOK, "Ah... Kak Anton, permisi."
Anton melihat Bimo dan menyapanya, "Wah, Bimo kamu toh."
Anton pun berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Bimo, "Aku dengar kamu dan teman-temanmu membuat klub tertutup. Sudah menemukan guru pembimbing?"
Bimo membalas dengan tonasi suara yang agak sedih, "Sayangnya kami belum menemukannya kak."
Anton dengan senang hati ujar, "Oh kalau begitu aku beri tahu sekarang."
Anton berjalan ke mejanya untuk mengambil kertas formulir yang Bimo pernah tulis. Lalu kembali mendekati Bimo dan berkata, "Kalian sudah bisa melakukan aktifitas dengan ruangan di lantai empat. Di sebelah gudang barang lama ya. Kamu tahu kan? Yang paling ujung itu."
Bimo menerima kertas yang sudah di tanda tangani oleh Anton. Dia menelitinya terlebih dahulu lalu ia berseru, "Oh tentu kak, saya tahu tempat itu. Tapi saya lihat-lihat dari formulir ini, tempat dimana guru pembimbing perlu tanda tangan sudah ditanda tangani. Kok bisa ya?"
Anton tersenyum lebar dan menjawab, "Ada yang sukarelawan menjadi guru pembimbing kalian, dia sendiri yang menghampiri kakak."
Bimo kebingungan tapi dia tetap menjawab, "Oh jadi begitu." Ia pun melihat kembali formulirnya dan membaca nama guru pembimbing barunya dengan perlahan, "Hadeki?"
Skill revealed:
Miya & Arji: Gazing Glance (Pandangan Sekilas)
Dengan sekali lihat saja, siapa pun akan melihat bunga-bunga atau sesuatu yang bermekaran dari muka yang menampilkannya. Disaat itu juga muka mereka yang melihat akan memerah dan detik berikutnya mereka akan mengeluarkan mimisan dengan cepat.
Please log in to leave a comment.