Chapter 22:
The Triple Date
Beberapa jam berlalu dan para anggota klub Trismara telah mengumpulkan semua barang-barang yang mereka inginkan dari gudang untuk ruangan klub mereka. Dengan antusias, Luna menggambar denah untuk ruangan klub mereka dengan sedemikian rupa agar nyaman ditempati. Seusainya menggambar, Luna menampilkan denah tersebut dengan Miya dan Ruko terlebih dahulu, "Jadi bagaimana menurut kalian?"
Ruko dan Miya melihat denahnya sesaat lalu melihat satu sama lain.
Ruko berseru, "Kita bertiga akan berada didekat jendela?"
Miya berseru, "Aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Aku punya kulit yang sensitif dengan sinar matahari."
Luna tercengang dan melihat denahnya lagi, "Eh... Ano..."
Ruko berseru, "Sepertinya sugestiku nggak terlalu baik ya. Seingatku, aku dan Bimo udah buat denah."
Luna membalas, "Iya memang tapi kan itu denah yang membuat semua barang-barang baru ini jadi tidak muat."
Bimo mendekati ketiga perempuan tersebut dan berseru, "Mau ku bantu, Luna?"
Luna berputar seratus delapan puluh derajat untuk menatap Bimo dan ia berseru, "Aku... Nggak, aku nggak perlu..."
Bimo mecela, "Santai aja aku nggak bakal memaksa kok. Aku akan kasih saran saja."
Luna dengan malu berseru, "Baiklah."
Dengan itu, Bimo dan Luna pun membuat denahnya bersama tepat di tengah ruangan dimana kedua sofa dan meja pendek berada.
"Miya, maaf! Gua pengen tau saran lu", seru Arji dari kejauhan.
"Oh baiklah. Sebentar, aku ke sana", balas Miya.
Dalam kesibukan, Ruko kebingungan mau melakukan apa. Saat itulah ia melihat Joko sedang memasang Game Console ke TV yang berada diruangan klub mereka.
Ruko pun mendekati Joko dan berseru, "Yo, mau ku bantu?"
Joko memutarkan kepalanya dan berseru, "Oh tentu, Ruko. Itu akan sangat membantu."
"Ah, kamu punya pikiran yang bagus, tapi memang benar colokan listrik disini hanya ada dua", seru Bimo dengan Luna, "Perlukah kita beli extender?"
Luna membalas, "Duit kita akan kepepet. Kau kira kita ini kaya."
"Nggak juga kok. Kita bisa ambil beberapa uang tabungan untuk menutupnya sementara."
"Huh? Uang tabungan sekolah?"
"Iya, tapi tentu saja kita harus patungan."
"... Aku nggak suka ide itu, tapi kamu memang benar."
"Oh, aku juga sarankan kamu pindahkan aku dan Arji ke bagian dekat jendela. Kami berdua lebih suka kena matahari."
Huh? Kalau Miya dan Ruko tukeran sama Bimo dan Arji, aku diapit mereka dong? Huuuuuh? Seruan yang dipikirkan Luna.
"Lun?" Bimo berseru sambil melambaikan tangannya didepan muka Luna.
"Luna? Kamu kenapa?" Bimo melihat muka Luna memerah dan kepalanya berasap.
"Kamu sakit ya?" Tanya Bimo.
Sebelum Bimo berseru kembali, Luna, dengan nada malu, berseru, "Kamu... mau... dimana? Di... seberang... pintu masuk a... atau paling... ujung belakang ruangan?"
Bimo hanya bisa manatap Luna dengan kebingungan, dengan suara yang lembut Bimo menjawab, "Aku terserah saja. Dimana saja aku oke."
Dalam pikiran Luna, ia berteriak, Uwaaa, kamu nggak peka banget sih, Bimoooo.
"Jadi kamu mau minta saran apa, Arji?" tanya Miya kepada Arji.
Arji memegang tangan kiri MIya dan menuntunnya keluar dari ruangan.
Miya bertanya kembali, "Ehh... Arji?"
Tanpa basa-basi, Arji melepaskan tanga Miya dan bertanya, "Miy, gua tau ini waktu yang nggak tepat, tapi lu mau bantu gua dulu nggak?"
"Huh? Buat apa?"
"Sijay."
"Loh? Kok kita bahas dia lagi?"
"Kita berdua sekelas sama dia, dan sekarang dia pasti lagi diruang klubnya. Gua cuman pengen membalasnya sebentar. Sebagai temen sekelas dan pacar gua, lu bersedia bantu gua kan?"
Muka Miya memerah saat Arji berkata pacar, ia pun menutup mukanya dan berseru, "Buat apa kita balas? Bukankah dia udah kapok?"
Arji dengan nada tinggi berseru, "Gua nggak bisa lakuin ini tanpa salah satu dari kalian. Luna lagi sibuk dengan Bimo, dan sudah pastinya dia nggak mau bantu gua. Lalu kalau Ruko, gua sama dia tuh kadang susah kerja sama."
Miya membuka mukanya dan menatap Arji, setelah itu dia menatap balik ruang klub. Lalu dia berseru, "Berapa lama kita jahilin dia?"
"Sampai jam dua belas."
"Ok, kalau begitu sekitar satu jam. Nggak lebih ya!"
"Tentu saja, ayo!"
"Apa kamu pernah berurusan dengan kabel-kabelan, Ruko?" tanya Joko.
Ruko berjongkok mendekati Joko, "Nggak tuh. Memangnya harus ngapain?"
Joko berhenti memasangkan kabel dan berputar, lalu ia berseru, "Tak apa, kalau kamu nggak berani dengan listrik atau semacamnya, kamu bisa memberikan arah kepadaku saat aku memperbaiki TV ini."
Sebelum Joko kembali ke posisinya, Ruko bertanya, "Bagaimana caranya aku bantu? Aku hanya perlu lihat TVnya?"
"Yup, dan bilang kalau kamu udah bisa melihat warna."
"Tunggu dulu, TV jadul itu maksudnya yang hitam putih ya?"
"Tepat sekali, Ruko", setelah selesai berseru, Joko langsung kembali ke posisinya.
"Baiklah Ruko, bagaimana? Sudah ada warna?"
Ruko menatap layar TV dengan sangat fokus, "Belum, dan sepertinya malah jadi lebih kresek."
"Ah berarti seharusnya aku ganti yang ini."
"Sekarang sudah tidak kresek lagi, tapi masih belum berwarna."
"... bagaimana kalau sekarang?"
"Aku hanya melihat warna merah."
"... kalau sekarang?"
"Warna merah dan hijau."
"... ah, berarti tinggal sedikit lagi."
"Warnanya sudah mulai keliatan, tapi malah jadi kresek lagi."
"... sebentar, aku... Ahh. Aduh duh."
"Uwaa, kamu nggak apa-apa?"
Bimo dan Luna mendengar teriakan Joko dan melihat kearah mereka.
Joko berteriak, "Aman guys. Santai aja, kesetrum doang kok. Plus aku masih pake sepatu dan kaos kaki."
Bimo berteriak menyahut, "Hati-hati, bro. Jangan sampe kamu pingsan kaya waktu itu."
Luna terkejut dan berseru, "Huh? Joko pernah pingsan karena ginian."
Bimo dengan santai berseru, "Dua kali."
Luna terkejut kembali, dan ia menjadi tegas, "Bim, serius dong! Kamu ini kira yang barusan kamu ngomongin itu normal?"
Bimo menjawab dengan santai lagi, "Lah siapa bilang itu normal."
Dengan kesal, Luna berdiri dan menunjuk Bimo, serta berkata, "Gaya jawabmu itu Bimo. Kamu kayak nggak peduli sama temenmu sendiri."
Bimo hanya bisa bergeming dan menatap ke arah lain, Luna pun berseru kembali, "Kamu nggak peduli apa ya sama temenmu?"
Bimo menundukkan kepalanya dan berseru, "Aku bukannya nggak peduli Luna. Aku hanya...", Bimo menatap muka Luna dan melanjutkan, "Percaya pada sahabatku."
Luna melihat kilauan yang keluar dari Bimo, dan memutuskan untuk tidak komentar dan kembali duduk.
Joko berteriak melanjutkan, "Santai aja, Luna. Aku bakal kasih tahu kok kalau aku kenapa-napa."
Ruko membalas teriakan Joko, "Kamu sendiri yang bikin kita panik, Jo. Kita bertiga lagi tenang, tiba-tiba kamu teriak."
Joko bangun dari posisinya dan berseru, "Maaf. Aku nggak sengaja kesetrum."
"Aku paham, Jo. Cuman kamu nggak perlu teriak kenceng-kenceng. Bimo dan Luna jadi khawatir."
"Kamu bener sih. Jadi aku minta maaf."
Sementara itu, Arji dan Luna berdiri di depan ruang klub wibu. Mereka melihat Sijay didalam bersama dengan beberapa anggota klub yang lain.
Arji pun berseru, "Lu diam aja disini."
Miya berseru, "Oke."
Lalu Arji berdiri tepat didepan pintu klub itu dan mengetuknya. Lalu salah satu anggota klub itu membuka pintu tersebut.
Ia pun berseru, "Ah, Kak Armando."
Arji berseru, "Oh, adik kelas sepuluh? Maaf dek, boleh kakak pinjam...", Arji bertatapan dengan Sijay dan melanjutkan, "Kak Christoper... Jonathan...".
Knowledge Unlocked:
Joko can fix electrical stuff. (Joko handal membetulkan barang elektrik)
Please log in to leave a comment.