Chapter 48:
The Triple Date
Joko menawarkan tempat duduk di sebalahnya kepada Ruko dan siap mendengarkan curhatan Ruko.
"Jadi mau cerita apa?"
Ruko terdiam sejenak, lalu dia berseru, "... Jo... Kamu pernah merasa kesepian nggak?"
Joko berpikir, Kesepian? Membuka langsung lukaku yang lama. Tapi Ruko nggak tahu itu.
"Setiap hari aku merasakannya."
"Huh?"
Joko mengusap rambut Ruko dan melanjutkan, "Aku dulu punya rasa kesepian kronis, atau inggrisnya, Chronic Loneliness."
"Apa itu?"
"Aku sering merasakan perasaan keraguan diri yang mendalam, harga diri yang rendah, atau kecemasan sosial. Saat itu aku terasa seperti sedang dilahp oleh dunia dan aku... pernah berpikir untuk... bun..."
Ruko bingung maksud Joko, Joko pun berhenti berseru dan menganti topik, "Intinya aku sering merasakan kesepian dulu. Sekrang pun masih ada perasaan itu."
"Terus... kamu tahu nggak cara sembuhinnya?" Tanya Ruko dengan muka kucingnya.
Joko menatapnya dengan berpikir, Ruko lagi pengen diperhatiin. Tumben-tumbenan sama aku. Yah... memang kemaren dia menangis sih. Aku juga nggak ngerti alasan dia nangis kenapa, jadi lebih baik aku menemaninya selagi dia mau bareng aku.
Setelah berpikir itu, Joko merangkul Ruko dan menjawab, "Aku kan juga merasakannya Ruko. Aku mana tahu obatnya."
Ruko menerimarangkulan itu dan menyenderkan kepalanya ke pundak Joko, "Tapi kelihatannya kamu baik-baik saja."
"Karena dibenakku, aku selalu berpikir tentang sahabatku. Arji... pernah menyelamatkanku dari pikiran negatif, dan Bimo... udah memberikan ruang dalam keluarga. Aku jadi merasa lebih tenang sekarang."
Ruko menggenggam tangan kanan Joko dengan kedua tangannya, dan berseru, "Kamu... enak banget... punya temen sejati", dan disaat itulah Ruko pun menangis.
Joko meraih kepala Ruko dengan tangan kirinya dan berseru, "Kok, ngomong gitu sih? Miya dan Luna kan..."
Sebelum menyelesaikan kalimat itu, Ruko menyela, "Mereka *hiks* tidak *hiks* pernah ku anggap teman dekat."
Joko pun terkejut dan berseru didalam benaknya, Huh? Mereka bukan teman? Terus selama ini mereka dekat karena apa?
Ruko melanjutkan kalimatnya, "Aku membuat kesalahan besar, Jo. Aku nggak tahu mau gimana kalau Miya dan Luna pisah. Aku nggak akan ada tempat untuk kembali lagi."
Joko membungkam dan melanjutkan pikirannya, Salah besar?
Tidak lama kemudian Ruko tersadar dan melepaskan tangan dan sandarannya dari Joko. Ia pun berseru, "Ah... maaf aku terlalu terbawa suasana."
Joko dengan cepat mejawab dengan memancarkan aura yang menenangkan, "Nggak apa-apa kok. Mana mungkin aku marah melihatmu sedih begitu. Malah aku sebagai pria harus siap untuk mendengarkan curhatan seorang wanita. Iya, kan?"
Kalimat Joko membuat hati Ruko beranjak dan berdenyut kencang. Ruko berseru, "Kamu... jago banget sih bikin hati orang berdebar. Rahasianya apa sih?"
Joko menjawab dengan tonasi bercanda, "Visual Novel!"
Dengan muka yang masih mencoba untuk berhenti menangis, Ruko tercengang, "Huh? Game? Gimana bisa?"
"Ada deh, rahasianya."
Merasa terbodohi, Ruko mendorong Joko, "IIH JOKO!"
Tanpa sadar, Ruko mendorong Joko terlalu kencang, membuat Joko sedikit terpental ke arah tembok, "Adaw!"
"Uwaaa. Maaf! Aku nggak sengaja."
"Ruko... kamu cewe-cewe kuat juga ya. Perasaan kamu dorong aku nggak seberapanya."
"Hehe, ini karena latihanku yang ku lakukan dengan... ayahku dan... kakak-kakakku."
Dengan cepat Joko mendapatkan jawabannya tentang mengapa Ruko merasa sepi, Ah ha! Jackpot!
"Tapi itu nggak penting! Yang penting sekarang kamu kesakitan nggak?"
"Iya cuman didorong doang sih. Seharusnya nggak cidera."
Ruko langsung menunduk dan berlutut meminta maaf, "Maafkan aku, Joko! Aku akan membatasi kekuatanku lain kali."
"Iya, iya. Udah jangan dilantai, nanti masuk angin loh. Lebih baik kita mulai nyanyi-nyanyi, yuk."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sementara itu, Bimo dan Miya bernyanyi dengan riangnya, tanpa berpikir apapun sampai akhirnya pesan mereka datang.
"Permisi mas, mba. Ini pesanannya", seru pelayan yang membawakan makanan dan minuman kecil untuk Bimo dan Miya.
Miya berbicara melalui micnya, "Ah! Terima kasih, mba", dan dengan tidak sengaja membuat suara nyaring.
Kejadian tersebut membuat pelayan hampir menjatuhkan pesanan Bimo dan Miya.
Secara cepat, Bimo menangkap pelayan dan nampan pesanannya.
Miya menjauhkan micnya dan meminta maaf, "Wuaah. Maaf! Aku tidak menyangka akan ada reverb seperti tadi."
Miya mendekati Bimo dan pelayan itu, Bimo berseru, "Mba, nggak kenapa-kenapa?"
Saat dilihat mukanya, pelayan tersebut menjawab dengan wajah merah menandakan malu, "Eeeehh eh eh... Iya... mas... sa... saya nggak apa-apa."
Miya sekali lagi berseru, "Saya minta maaf, mba. Tadi itu tida sengaja."
Pelayan itu pun berdiri untuk memulihkan kembali keseimbangannya. Ia pun berseru, "Ehmm... Semoga kalian suka dengan pelayanan saya. Saya permisi dulu."
Ia pun pergi dengan cepat tanpa melihat balik.
Miya meraih tangannya namun terlambat, "Aaah, tunggu, mba! Tips-nya?"
Bimo pun menjawab, "Nanti kasihnya pas ketemuan dia lagi aja, Miy."
"Tapi kita kan nggak tahu namanya."
"Kezia."
Miya terkejut dan langsung berasumsi, "Bi... bi... bi... bi... Kamu nyatet nama orang yang disini juga?"
Bimo langsung menolak asumsi itu dengan berseru, "Aku melihat namany dari name tag-nya pelayan itu. Kamu berasumsi apa sih? Aku ini bukan creep."
Miya menghela nafas dengan lega, "Huff... Kamu kan memang biasa seperti itu."
"Segitu kah penilaianmu terhadap aku?"
Miya tertawa dan meminta maaf, "Hahaha, sebenarnya aku tidak pernah berpikir kamu itu creep, Bimo. Aku selalu berpikir kamu hanya orang polos yang tidak berpikir panjang. Itu saja."
Mendengar itu, Bimo merasa terpukuli dan berseru, "Begitu ya?"
Namun dengan cepat perasaan itu hilang saat Miya kembali mengambil mic dan menawarakan makan kepada Bimo, "Ayo, Bimo! Kita lanjutin sesi ini sambil makan dan minum! Udah hampir sejam loh! Luna hanya menyewa untuk dua jam. Nanti habis waktunya loh!"
Bimo pun berseru, "Kamu kembali ke Miya yang biasa dengan cepat. Kamu bahkan nggek berpikir tentang adik-adikku lagi."
Bimo kembali duduk disebelah Miya, disaat Miya terkejut dengan pernyataan Bimo. Miya pun menjawab dengan suara pelan, "Ini... yang Luna mau."
Bimo tidak mendengar itu, jadi ia hanya berseru, "Hmm? Kamu ngomong apa?"
"Tidak ada! Ayo kita lanjut!"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Hey, narsis. Nggak nyanyi kamu!"
Dengan malu Arji menjawab, "Gua... nggak bisa nyanyi. Suara gua jelek."
Di booth pertama, Luna hanya bisa memilih lagu dan tidak bernyanyi karena malu, sedangkan Arji tidak memlih dan hanya bisa bungkam karena ini baru pertama kalinya ia memasuki ruangan karaoke.
"Gua nontonin aja. Udah lu nyanyi juga, nggak apa-apa."
"Kamu harus ikutan nyanyi. Aku malu kalo nyanyi sendiri!"
"Lah kan, gua udah bilang! Gua nggak bisa nyanyi..."
Luna menarik tangan Arji, membuatnya berdiri.
"Woi! Apa-apaan ini? Lepasing gua nggak!"
"Nggak! Gua bakal paksa lu nyanyi dan lu harus bisa!" Luna berseru sambil malu-malu.
Setelah itu, Luna akhirnya bernyanyi dan Arji mengikuti tanpa mengerti apa yang dia lihat di layar.
Arji pun berpikir, Anjir, nyanyian jepang semua, cuy. Gua aja kagak ngerti gimana ngomongnya, apalagi nanyinya.
Arji dan Luna pun terus bernyanyi. Tidak sadar akan berapa banyak lagu yang dipilih Luna, mereka terus bernyanyi sambil menahan pose dimana tangan kiri Arji dipeluk Luna dan sisa tangan masing-masing memegang mic.
Beberapa lagu kemudian, Arji mulai berpikir, Mungkin gua perlu belajar nyanyi juga. Gua nggak sadar kayak gini aja...
Arji menatap muka Luna yang bahagia seperti sedang berada di dunia yang bebas.
... bisa membuat seseorang bahagia banget.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sesi karaoke mereka pun habis, Bimo, Miya, Joko, dan Ruko berkumpul bersama didepan aula utama. Mereka berputar-putar melihat sekeliling.
"Ehmm... Arji dan Luna lupa jam kah? Ini sudah lebih satu menit batas sesi kita", tanya Bimo.
"Nomor yang anda telefon tidak dapat dihubungi. Cobalah sesaat lagi atau tekan 1 untuk meniggalkan pesan suara. Tuuut"
Miya mencoba menghubungi Luna namun tidak direspon.
Ruko pun berseru, "Kita hampiri boothnya aja lah. Masa iya mereka masih lanjut. Mungkin mereka lagi rapih-rapih"
Joko langsung menjawab, "Aku meragukannya. Luna suka yang jejepangan, jadi bisa saja dia tidak ingat waktu."
Saat mereka sampai di booth dan membuka pintunya. Mereka melihat Arji dengan muka yang kelelahan dan sedang di peluk tangan kirinya oleh Luna yang masih semangat bernyanyi walau ia terlihat berkeringat.
Joko menatap Arji dan melihat mukanya yang berseru secara tersirat, CUK! TOLONG GUA! GUA UDAH NGGAK KUAT LAGI!
Joko pun memanggil Luna selagi Bimo, Ruko, dan Miya menatap mereka dengan muka kosong, "Luna! Waktu udah selesai. Kamu masih nyanyi aja."
Badan meriang, kaki bergetar, muka berkeringat, mata melotot, dan kepalanya pun berputar melihat keempat temannya menatapnya sedang bersenang-senang dengan Arji.
Respon Ruko terhadap adegan itu adalah memotret Luna dengan Arji yang hampir kehabisan energi.
"RUUUKOOOOO! HAPUS FOTO ITU!" Muka Luna merah dan berusaha mengejar Ruko.
Sebelum itu, Luna melepaskan Arji dan Mic yang dipegangnya. Arji pun terjatuh dan berseru, "Anjing lah. Badan gua lemes parah. Ternyata itu cewe kuat juga ya."
Bimo, Joko, dan Miya mendekati Arji yang tepar tertidur di lantai booth. Arji pun melanjutkan, "Untung suara gua belom habis."
Bimo pun bertanya, "Having fun?"
Arji membalas, "Hell no, man. Energi gua terkuras abis. Mana gitu gua nggak bisa ikutin tempo dia."
Miya pun berseru, "Ya begitu lah, Luna."
Setelah itu keempat murid itu menerima pesan secara bersamaan. Saat di lihat, ternyata pesan itu dari Ruko. Ia mengirim foto Arji dan Luna yang dipotretnya tadi.
Dari kejahuan, mereka berempat mendengar teriakan Luna, "RUUUUUUUKOOOOOOOO!"
Please sign in to leave a comment.